PADANG – Fenomena kegagalan pelunasan pinjaman daring dan sistem bayar belakangan ini tengah mencuat.
Pentingnya diingat bahwa konsekuensinya bisa menghadapi implikasi hukum yang serius jika terjadi gagal bayar.
Rinto Wardana, sebagai Managing Partner dari Rinto Wardana Law Firm, menyoroti bagaimana kemajuan teknologi telah mempermudah individu untuk berhutang.
Ini juga mendorong para pelaku usaha menjadi perantara dalam memberikan akses mudah dalam urusan berhutang.
“Dalam beberapa kali membuka perangkat digital, tawaran pinjaman instan kerap kali muncul,” ujar Rinto dilansir CNBC Indonesia.
“Kondisi ini memunculkan permasalahan, di mana akses mudah untuk berhutang dapat menyebabkan kesulitan ketika seseorang tidak dapat melunasi kewajibannya,” tambahnya.
Kemudahan dalam mendapatkan pinjaman bukanlah satu-satunya pemicu utama terjadinya kegagalan pelunasan.
Menurut Rinto, mayoritas pelanggan pinjol masih kekurangan pemahaman akan risiko yang terkait dengan mengambil utang.
“Banyak dari mereka kurang paham apakah pembayaran utang hanya mencakup pokok pinjaman atau juga mencakup bunga serta dampak dari keterlambatan pembayaran,” ungkapnya.
Perbedaan terdapat pada pinjaman dari bank konvensional di mana dalam kasus gagal bayar, terdapat ketentuan bunga dan denda yang harus dibayar sesuai dengan perjanjian kredit.
Rinto menyatakan bahwa banyak dari pelanggan tidak memiliki informasi yang cukup mengenai besaran bunga yang akan dikenakan jika mereka terlambat dalam pembayaran.
Dalam kasus gagal bayar, perusahaan pinjol berhak untuk melaporkan ke polisi dengan dasar tuduhan penipuan dan penggelapan.
Menurut Rinto, hak ini diberikan kepada perusahaan pinjol sesuai dengan ketentuan hukum untuk mengambil tindakan hukum terhadap pelanggan yang wanprestasi.