PADANG – Ketua DPRD Padang Elly Thrisyanti menilai keluarnya Peraturan Walikota (Perwako) Padang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Kategori dan Besaran Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial tanggal 24 Januari 2018, bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPRD.
“Kenapa? yang karena sebagian besar hibah dan bansos itu sangat terkait dengan anggota dewan yang disalurkan ke masyarakat maupun organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan melalui dana pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD,” kata Elly, kemarin.
Harusnya, kata Elly, Walikota sebelum mengeluarkan Perwako, hendaknya mengajak minimal pimpinan DPRD untuk duduk bersama membahas kebijakan tersebut. “Sebab sebagai sesama pemerintah daerah harusnya ada komunikasi harmonis. Apalagi ini sangat bersinggungan langsung dengan anggota dewan,” kata Elly.
Dia menjelaskan, sebagai anggota dewan, tiga kali dalam setahun melaksanakan reses ke daerah pemilihan (Dapil) masing-masing menyerap aspirasi masyarakat.
“Kita adalah wakil dari rakyat dan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 86 tentang Pokok-pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan, kita melakukan reses di awal-awal tahun. Tujuannya untuk menyerap aspirasi masyarakat tersebut untuk dimasukan ke dalam Pokir tersebut,” tegasnya.
Jadi dalam reses banyak usulan masyarakat yang akan diakomodir untuk dimasukkan ke Pokir. Namun, ironisnya, kata Elly, setelah aspirasi masyarakat dimasukan ke dalam Pokir, tahu-tahunya keluar Perwako yang membatasi jumlah bantuan hibah dan sosial kepada masyarakat. Akibatnya, anggota dewan menjadi serba susah nanti berhadapan dengan masyarakat.
“Masyarakat sudah menyampaikan aspirasi ketika reses. Sudah kita masukan ke Pokir, tahu-tahu ada kendala bahwa dibatasi jumlahnya. Tentu kita serba susah jadinya. Masyarakat mana mau tahu soal Perwako. Bisa-bisa kami dituduh menyunat bantuan yang disalurkan,” katanya.
Dikatakan Elly, alasan Perwako ini keluar adalah adanya pertanyaan atau temuan dari KPK melalui RAD BPK, Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk percepatan pemberantasan korupsi, adanya evaluasi APBD oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dan adanya temuan pemeriksaan BPK RI yang mempertanyakan dasar penerimaan hibah dari objek yang sama.
“Maksudnya begini, masjid A menerima Rp5 juta, masjid B menerima Rp15 juta, dan masjid C menerima Rp100 juta. Pertanyaannya, kan sama-sama masjid, objek yang sama, kok menerima dalam jumlah yang berbeda-beda. Pertanyaan itu timbul dari pihak-pihak yang melakukan pemeriksaan,” ungkapnya.(bambang)