Ketum DPP LDII: Ketahanan Pangan Berkelanjutan Vital Bagi Stabilitas Bangsa

Sementara itu, Rubiyo menegaskan bahwa berbicara pangan berarti memastikan satu-per-satu penduduk Indonesia tidak kelaparan. “Bagaimana program kemandirian pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan nasional, dan ketahanan pangan nasional dilaksanakan dengan baik, merupakan pertanyaan yang harus dijawab semua pemangku kepentingan” ungkapnya.

Peningkatan produksi pangan dapat dimulai dengan melakukan optimalisasi lahan pertanian. “Perlu dibuat model pertanian berkelanjutan yang tepat guna dan ekonomis, sebab selain untuk menghasilkan produk pangan dalam jangka panjang juga dapat menghasilkan produk pangan dalam jangka pendek secara berkelanjutan,” urainya.

Pandemi Covid-19 berdampak pada kapasitas dan produktivitas produk pertanian, produksi pangan, dan akses pemasaran. “Sehingga dapat memberikan dampak pada sektor ekonomi, pengangguran, daya beli, akses terhadap pangan, kemiskinan dan malnutrisi,” ujarnya.

Indonesia perlu tetap meningkatkan berproduksi, meningkatkan aneka produk dan kualitas produk pertanian, menjaga dari fluktuasi harga (stabil), memastikan kelancaran distribusi antar pulau, antar provinsi dan perlunya mengantisipasi kekeringan.

“Sinergi pangan dan energi berdasarkan keunggulan dan potensi strategis masing-masing wilayah dapat menjadi jawaban menghadapi tantangan tersebut,” ungkapnya.

Praktiknya, membangun ketahanan pangan dapat dimulai dari aspek pangan mandiri. “Aksinya dapat dimulai dari program pertanian masuk sekolah, pertanian pesantren, dan penguatan lumbung pangan masyarakat,” jelasnya.

Secara sederhana, ketahanan pangan dapat dibangun dari rumah, melalui teknologi vertikultur (budidaya tanaman secara vertical), sistem pot, dan budidaya sayuran di lahan sempit.

Dari sisi lingkungan, Apik Karyana mengatakan bahwa untuk mengatasi penyusutan ketersediaan lahan, kawasan hutan sosial dapat dimanfaatkan untuk produksi pangan. “Hutan dapat dijadikan lumbung pangan, contohnya panen hasil hutan non-kayu seperti madu dan menjadikan sela-sela hutan sebagai lahan produksi pangan,” ungkapnya.

*Mengelola Hutan untuk Kebutuhan Pangan*

Dalam 10 tahun terakhir, kawasan hutan peruntukkannya lebih banyak ke sektor swasta (korporasi atau perusahaan), sedangkan akses masyarakat itu sendiri hanya sebesar 4,14 persen dibanding swasta yang memiliki akses lebih dari 95 persen. Dengan kebijakan pemerintah, hal ini mulai dirubah dan hasilnya terlihat dari data tahun 2021 akses masyarakat telah meningkat menjadi 18.6 persen. Idealnya, ke depan masyarakat dapat mengelola sebesar 30 persen kawasan hutan melalui pola kemitraan.

“Kebijakan yang memberikan porsi lebih besar kawasan hutan kepada masyarakat inilah yang disebut Perhutanan Sosial,” kata Apik.