Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa hutan sosial diberikan untuk pemerataan ekonomi dan reformasi agraria. Pola perhutanan sosial diberikan dalam lima skema, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan nagari, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan. Dalam bentuk hak pengelolaan kurang lebih tiga puluh tahun dan bisa diperpanjang hingga tujuh puluh tahun. Dengan pemberian hak pengelolanini masyarakat mendapat kepastian hukum dalam memanfaatkan kawasan hutan.
Apik mendefinisikan perhutanan sosial sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya. Diatur dalam regulasi Peraturan Menteri KLHK No. 83 yang telah diubah menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja, sehingga mudah dalam perizinannya.
“Akses legal diberikan langsung dari Menteri LHK dengan nama “persetujuan” sebagai pembeda dari pemberian akses kepada sektor swasta. Dan perhutanan sosial ini bukan sebagai hak kepemilikan lahan, namun hanya sebatas akses kelola, tidak bisa dialihfungsi, bisa mendapat dana desa dan beberapa kemudahan lainnyasebagainya,” kata Apik.
Perhutanan sosial digadang mendukung pengembangan sistem pangan nasional. Targetnya adalah pengurangan kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, serta pengelolaan hutan lestari.
“Masyarakat bisa melakukan kegiatan agro-forestry dengan memperhatikan kearifan lokal. Dari kementerian hanya memberikan pola kemitraan, akses modal, akses pasar, dan _off taker_ agar memenuhi target tersebut,” jelas Apik.
Realisasi capaian perhutanan sosial hingga 18 Maret 2021 mencapai 6.899 unit SK hak pengelolaan lahan. Yang terpenting, setelah mendapat SK harus mendatangkan hasil atau kemanfaatan dan produktivitas.
KLHK juga meminta konvergensi lintas kementerian dan lembaga untuk bersinergi dalam pelaksanaan program ini, terutama membantu mereka yang lemah dari segala aspek, “Ujungnya agar kelompok tani menjadi sejahtera,” ujar Apik.
Senada dengan Apik, Tisna Umaran mengatakan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan terganggunya logistik pangan karena keterbatasan aktivitas.
“Pandemi Covid-19 memberikan dampak pada terganggunya sistem logistik pangan karena keterbatasan aktivitas dan terganggunya rantai pasok. Dampak lanjutannya di satu sisi menyebabkan masyarakat kehilangan akses dan di sisi lain akibat turunnya permintaan berdampak pada menurunnya harga komoditas pertanian saat terjadi panen sebagai akibat berkurangnya kegiatan masyarakat,” ujar Tisna.
Menanggulangi permasalahan yang terjadi, Dinas Pertanian Kab. Bandung melaksanakan kegiatan. Gelar Produk Pertanian dan penjualan paket sayuran dengan harga Rp15.000-20.000 per paket bekerjasama dengan PKK, dharma wanita dan petani produsen.
Program lainnya berupa pemberian bantuan dua ribu paket sayuran dibagikan pada enam kecamatan yang terdampak Covid-19. Pembuatan kesepakatan bersama dengan TaniHub tentang pengembangan ekosistem usaha berbasis pertanian. Memfasilitasi petani dan konsumen melalui pengembangan media layanan pemasaran secara online. Proyek korporasi hortikultura bertempat di Ponpes Al Ittifaq, Kec. Rancabali dikembangkan sebagai pelopor santri beragribisnis.