Oleh Laras Dwi Oktari
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk dengan berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, suku, dan budaya. Begitupun dengan wilayah indonesia yang sangat luas mulai dari perkotaan yang sangat maju hingga ke daerah-daerah sulit dijangkau yang bisa dikatakan masih tertinggal. Menurut Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024, ada sebanyak 65 kabupaten yang termasuk dalam kategori desa tertinggal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan salah satunya ada di daerah Sumatera Barat yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai. Maka dari itu, pemerintah melakukan berbagai upaya dalam rangka pemerataan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah juga melakukan pendekatan pembangunan secara desentralisasi, yaitu dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi dasar bagi perubahan pendekatan pembangunan di Indonesia. Undang-Undang ini menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan amanat UUD Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Sejalan dengan Undang-Undang tersebut, ada sebuah konsep yang dicetus oleh ilmuwan bernama Robert Chambers mengenai pembangunan desa mulai dari belakang. Apa itu pembangunan desa mulai dari belakang? Ialah sebuah cara untuk mengentaskan kemiskinan di suatu daerah dengan cara “belajar dari bawah”, belajar langsung dari orang desa dengan mencoba memahami dan menghayati kehidupan orang miskin di pedesaan, mencoba merasakan kehidupan dari sisi orang yang menderita. Cara-cara tersebut bisa dilakukan dengan duduk bersama mereka, bertanya, mendengarkan, mempelajari pengetahuan dari mereka, tinggal lebih lama dengan mereka, hingga melakukan penelitian dan pengembangan bersama mereka sehingga orang luar bisa tahu apa yang benar-benar dihadapi oleh masyarakat di desa tersebut.
Salah satu kegiatan pembangunan desa mulai dari belakang yang dilakukan dalam rangka membantu pemerintahan dalam pembangunan adalah adanya program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Suyono dan Haryanto (2009:6-7) menjelaskan bahwa KKN adalah bagian dari sistem pendidikan tinggi yang menempatkan mahasiswa di luar kampus agar mahasiswa hidup di tengah-masyarakat bersama untuk membantu dan mendampingi masyarakat memanfaatkan sumber daya alam lokal dan sumber daya manusia yang ada untuk mengatasi permasalahan masyarakat dalam kurun waktu tertentu.
Banyak bidang yang bisa dikembangkan melalui program KKN ini karena mahasiswa yang ditempatkan di satu titik lokasi biasanya terdiri dari berbagai macam jurusan. Pada bidang pendidikan misalnya seperti pengadaan taman belajar, perpustakaan desa, dan sejenisnya. Bidang sosial budaya (keagamaan) mengadakan taman pendidikan al-qur’an. Bidang ekonomi mengadakan gerakan “ayo menabung”. Bidang kesehatan mengadakan gerakan cuci tangan bersama, dan masih banyak lagi program-program yang dapat dilakukan serta dikembangkan dalam berbagai bidang sesuai dengan pemahaman dan keahlian masing-masing mahasiswa.
Dalam menjalankan program KKN, sudah barang tentu terjadi proses komunikasi di dalamnya. Model komunikasi yang dianggap paling cocok digunakan dalam proses kegiatan ini adalah model komunikasi yang menggunakan seorang opinion leader yaitu seseorang yang sudah memiliki kredibilitas dari masyarakat. Orang yang menjadi kepercayaan dari masyarakat itu sendiri sehingga apa yang disampaikan oleh komunikator dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tersebut. Mahasiswa KKN dianggap sudah memiliki kredibilitas di kalangan masyarakat karena pendidikan yang mereka miliki. Namun, tentu dalam berkomunikasi juga harus disesuaikan dengan bahasa masyarakat sekitar, karena terkadang tidak perlu menggunakan bahasa yang terlalu tinggi dan sulit dimengerti, justru makna pesan yang disampaikan bisa tak sampai.
KKN ini pun ada banyak jenisnya. Di Sumbar sendiri sudah ada beberapa universitas yang mewajibkan program ini untuk mahasiswanya, salah satunya yaitu Universitas Andalas. Untuk mensukseskan program ini tentu membutuhkan banyak “tangan” mulai dari sponsor, pemerintah hingga pihak swasta serta pihak terkait lainnya. Dengan adanya sinergi berbagai pihak, program KKN ini diharapkan dapat mempercepat dan memperpanjang tangan pemerintah dalam program pembangunan desa dan pemerataan pembangunan daerah di Indonesia, karena KKN ini salah satu cara yang dianggap efektif dalam pembangunan desa mulai dari belakang. Namun, tentu saja pemerintah sebaiknya tidak lepas tangan begitu saja, perlu adanya monitoring dan evaluasi sehingga program-program yang dijalankan dalam upaya pembangunan desa dapat terus berjalan dan semakin baik lagi sehingga dapat terwujud desa yang maju dan sejahtera. (***)