PADANG PANJANG—Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang secara resmi meluncurkan buku antologi puisi bertajuk “Negeri Bencana” karya 100 penyair dari berbagai penjuru Indonesia, Sabtu (28/12) di sekretariat komunitas itu.
Peluncuran Negeri Bencana diawali dengan pemutaran film dokumenter berdurasi empat menit, yang menggambarkan berbagai peristiwa bencana alam yang melanda Indonesia. Visual yang menampilkan tsunami, erupsi gunung api, banjir bandang, tanah longsor, hingga angin puting beliung itu mengundang keheningan penuh makna dari para hadirin.
Acara dilanjutkan dengan penandatanganan sampul buku oleh pimpinan Kuflet, kurator, narasumber, penyair, dan undangan yang hadir.
Ketua Harian Komunitas Seni Kuflet, Riska Lovani Akbar dalam sambutannya mengungkapkan bahwa penerbitan buku ini merupakan bentuk keprihatinan atas banyaknya bencana alam yang terjadi di tanah air dalam beberapa dekade terakhir.
“Komunitas Seni Kuflet bersama Majalah Digital elipsis mulai menerima naskah sejak 15 Juni 2024. Dari 250 puisi yang kami terima, sebanyak 100 karya dari 157 penyair terpilih untuk diterbitkan. Penyair-penyair ini berasal dari Aceh hingga Maluku, merepresentasikan suara keprihatinan dari Sabang sampai Merauke,” ujar Akbar.
Setelah peluncuran, acara berlanjut dengan diskusi yang dipandu Muhammad Subhan, penulis sekaligus pendiri Sekolah Menulis elipsis. Tiga narasumber hadir memberikan pandangan mendalam tentang antologi ini, yaitu Dr. Sahrul N (akademisi dan kritikus seni), Adri Sandra (sastrawan), dan Dr. Sulaiman Juned (sastrawan dan sutradara teater).
Sahrul membuka diskusi dengan menyebut bahwa puisi dalam Negeri Bencana adalah catatan sejarah yang merekam tragedi dengan pendekatan estetis.
“Puisi ini memesis peristiwa bencana diolah menjadi kepuitisan yang mendalam. Karya-karya ini tidak sekadar menggambarkan kehancuran, tetapi juga menyentuh jiwa pembaca, memberi rasa, bahkan menjadi pembelajaran bagi generasi muda,” ujarnya.
Sahrul yang berasal dari Padang Pariaman turut membagikan pengalaman pribadi ketika kampung halamannya tertimbun longsor akibat gempa bumi pada 2009.
“Saya merasa ada ‘keindahan’ ironi dalam membaca puisi-puisi ini, ‘indah’ dalam tanda petik, karena para penyair merekam bencana yang sebagian orang pernah mengalaminya,” tambahnya.
Sementara itu, Adri Sandra mengupas tiga puisi dari buku tersebut, yaitu “Surat Cinta dari Sangkakala 1” karya Acep Syahril, “Surat dari Blang Mancung” karya L.K. Ara, dan “Surat untuk Palu dan Donggala” karya Rico Fernando.
Menurutnya, puisi-puisi ini tidak hanya menggambarkan bencana yang datang dari Tuhan, tetapi juga akibat ulah manusia. “Puisi Rico Fernando, misalnya, terasa begitu nyata seakan-akan pembaca berada di tengah bencana Palu dan Donggala. Ini bukan hanya soal teknik kepenulisan, tetapi bagaimana penyair mampu membawa pembaca merasakan luka, iba, dan kepedihan yang mendalam,” kata Adri.