Di seberang masjid mata saya tertumbuk kepada tulisan di angkot putih A2 yang parkir. Pada bagian atas belakang ada tulisan bahasa Minang “Capek Pulang Yo Da” (Cepat pulang ya, Uda) dan di kanan “Gali-Gali Sanang” (Geli-geli senang). Saya ingin bercakap dengan sopirnya, tapi tidak kelihatan.
Di depan masjid terdapat Jalan Safri Darwin. Dari depan masjid kita bisa melihat gerbang Markas Polres Jayawijaya yang hanya berjarak 50 meter.
Jalan Safri Darwin ini menarik perhatian saya karena ada seorang pria 70-an tahun dari Engrekang, Sulawesi Selatan yang sudah lama menetap di Wamena menyebutkan Safri Darwin adalah orang Padang.
“Safri Darwin itu masih muda meninggal, baru tamat Akpol langsung ditugaskan di sini sebagai kapolsek dan meninggal waktu kerusuhan Wamena tahun 1977, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Wamena dan namanya dijadikan nama jalan,” kata pria tersebut.
Panjang Jalan Safri Darwin 580 meter, dari Jalan Pramuka di Polres hingga ke Jalan Patimura.
Setelah jumatan saya dan Anyong makan ke rumah makan padang yang kecil, di dalamnya terlihat menikmati makan siang empat orang asli papua dan empat orang perantau sepertinya dari Sulawesi. Selama kami makan, pengunjung datang, baik orang papua asli maupun perantau.
Rumah makan tersebut dan deretan rumah lain di jalan kecil tersebut tampak tidak terkena kerusuhan.
Usai makan saya bertemu Pak Sudirman, ketua umum Ikatan Keluarga Minang (IKM) Kabupaten Jayawijaya. Beliau memperkenalkan istrinya orang Makassar.
Pak Sudirman berasal dari Pesisir Selatan. Pada 1983, ia merantau ke Wamena mengikuti kakak laki-lakinya yang berjualan di Wamena. Setelah beberapa tahun berjualan, ia kemudian diterima sebagai staf di Kodim Jayawijaya hingga pensiun.
“Dulu saya yang mengurus administrasi prajurit di sini, ada yang saya layani sejak ia masuk jadi tentara hingga pensiun,” katanya.
Saya menanyakan tentang Safri Darwin kepada Pak Sudirman.