“Ia orang Bukittinggi, mungkin waktu itu umurnya baru 20-an ketika ke sini, baru tamat Akpol ditugaskan ke sini sebagai kapolsek, bukan Wamena tapi polsek di distrik pegunungan, ia baru bertugas sekitar setahun ketika ada kontak senjata dan meninggal,” ujarnya.
Pak Sudirman menceritakan, ia yang membersihkan dan menyemen kuburuan Safri Darwin ketika melihat tak terawat di TMP.
Saya merekam pesan Pak Sudirman kepada para perantau Minang di Wamena yang sudah mengungsi. Ia juga menyebutkan pengungsi Minang tidak ada lagi di Wamena.
“Barusan sudah berangkat 24 orang ke Jayapura dengan Hercules, itu yang terakhir,” ujarnya.
Pak Sudirman yakin tidak akan ada lagi kerusuhan di Wamena karena sudah ada pertemuan dengan tokoh-tokoh di Wamena untuk menjaga kedamaian.
Di Wamena ada istilah “Labewa” (Lahir dan Besar di Wamena). Anak-anak Pak Sudirman termasuk Labewa. Di antaranya dua pria menjadi prajurit TNI. Wamena adalah kampung halamannya Labewa.
Pamit dari rumah Pak Sudirman saya bertemu dengan Dominikus Sorabut, orang asli Papua di Wamena. Pak Dominikus bukan orang sembarangan, karena ia adalah ketua Dewan Adat Wilayah Lapago (Pegunungan Tengah Papua).
Lapago adalah wilayah adat masyarakat Papua yang mencakup beberapa kabupaten di Pegunungan Tengah Provinsi Papua, termasuk Kabupaten Jayawijaya.
“Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Sumatra Barat dan orang-orang Padang di sini, sungguh ini peristiwa yang di luar kendali kita,” katanya sebelum saya duduk di depannya.
Pak Dominikus menceritakan banyak hal terkait peristiwa 23 September 2019 itu. Ia juga menceritakan menyelematkan orang Padang dan orang dari daerah lain dari amukan massa dan membawa mereka ke gereja.
Ia menyambut permintaan saya untuk merekam permohonan maaf dan jaminan keamanan para perantau di Wamena. Permisi dari Pak Dominikus saya dibawa Anyong dengan sepeda motor berkeliling bagian kota memotret dan memvideokan bangunan-bangunan yang terbakar dan suasana Wamena.