Hendri Nova
Wartawan Topsatu.com
Kisah Sauqi Puta Dylan (3 tahun) menghebohkan jagat media sosial se-Indonesia umumnya dan Sumatera Barat (Sumbar) khususnya di medio Juli 2018. Dylan begitu nama akrab bocah ini, merupakan anak piatu penderita tumor otak.
Menurut Kiki Ayunda (26 tahun) tante Dylan, ia sudah 6 (enam) hari di rawat di rumah sakit dalam keadaan koma, belum ada perkembangan berarti dari kondisi kesehatannya. Sejak ibu kandung Dylan wafat karena penyakit jantung, Kiki yang menjadi orang tua bagi Dylan yang senantiasa merawat dan membesarkan Dylan layaknya anak sendiri.
Ia bercerita, Dylan sebenarnya anak yang sangat aktif, namun tiba-tiba demam tinggi sehingga membuat nenek, kakek serta tantenya panik dan segera membawa Dylan ke salah satu dokter yang ada di Payakumbuh dan alhamdulillah mendapatkan obat.
Namun 2 minggu kemudian Dylan kembali demam tinggi dan kakinya sakit serta perut Dylan membesar, sehingga kembali di rawat di rumah sakit yang ada di Payakumbuh dan akhirnya di rujuk di Rumah Sakit M. Djamil Padang.
Dulunya Dylan punya BPJS untuk berobat, namun karena keterlambatan dan juga adanya sistem dari BPJS yang membuat biaya pengobatan Dylan tidak bisa ditanggung sepenuhnya oleh BPJS, membuatnya jadi beban keluarga.
Melihat biaya yang begitu banyak, Kiki akhirnya memposting berita Dylan dengan harapan ada yang mau membantu.
Video dan berita itu menjadi viral dan membuat banyak donatur dan lembaga amal berdatangan untuk membantu. Alhamdulillah akhirnya didapat jalan keluar.
Bantuan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dylan hanyalah satu dari sekian banyak kisah warga miskin yang tidak sanggup membayar iuran BPJS Kesehatan. Kondisi mereka yang sulit dan butuh makan, membuat mereka dihadapkan pada pilihan, bayar iuran BPJS Kesehatan atau beli beras.
Berharap dapat Kartu Indonesia Sehat (KIS), itu harganya sangat mahal. Banyak warga yang mengeluhkan kalau KIS hanya diperoleh oleh orang-orang dekat kepala desa ataupun walinagari di Sumbar.
Mereka yang layak mendapat KIS malah tidak dapat. Sementara yang mampu, malah mendapat kartu tersebut.
Hal inilah menurut data BPJS Kesehatan, yang membuat capaian kepersetaan JKN-KIS baru mencapai 80 persen hingga saat ini. Padahal targetnya 95 persen dari total jumlah penduduk di 2019. Itu berarti ada 40 juta penduduk lagi yang belum menjadi peserta JKN-KIS.
Sementara keluarga yang kepala keluarganya bekerja di perusahaan, hanya menanggung tiga anak. Anak berikutnya tidak ditanggung lagi, sehingga banyak yang memilih tidak mengambil BPJS Kesehatan Mandiri.
Alasan mereka tidak lain karena gaji yang tidak cukup untuk membayar iuran. Gaji yang hanya Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak mencukupi untuk biaya hidup.
Apabila dikurangi dengan angsuran motor ataupun rumah, tiap bulan akan mengalami ketekoran. Akhirnya mereka berhutang dan hiduplah tiap bulan secara gali lobang tutup lobang. Jadi bagaimana akan membayar iuran untuk anak berikutnya.
Terhadap kondisi ini, harusnya pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah membantu mereka yang penghasilannya tidak cukup, dengan memberikan kartu gratis. Tentu untuk mendata mereka, turunkanlah petugas yang jujur yang tidak ada hubungannya dengan warga yang akan didata.
Jika diberikan juga pada perangkat desa, kadang mereka ada yang tidak jujur, sehingga kembali mereka yang berhak dapat, tak mendapatkan haknya.
Sementara mereka yang menjadi pekerja dengan UMP rendah, tinggal dimintai data pada perusahaannya, untuk diberikan kartu gratis. Dengan demikian, target JKN KIS 95 persen tentunya bisa terpenuhi.
Semua Ingin Sehat
Bisa dikatakan, hampir semua keluarga yang ditanya, ingin keluarganya terproteksi kesehatannya dengan adanya jaminan berobat. Apalagi soal musibah, tak ada yang bisa memprediksi kapan datangnya.
Oleh karena itu, jika datang musibah, setidaknya sudah ada JKN-KIS yang bisa membantu. Namun jika harus dihadapkan pada urusan perut, tentu warga akan lebih memilih mengisi perut keluarga daripada membayar iuran.
Mereka pun menjadi pasrah, jika sakit nanti tidak ada uang untuk berobat dan akhirnya wafat. Syukur-syukur nanti ada donatur yang mau membantu, sehingga jalan keluarpun bisa didapat.
Untuk masyarakat yang tidak mampu membayar iuran JKN-KIS, hendaknya juga dibantu jalan keluarnya, agar kepesertaan mereka tidak hangus. Caranya tentu dengan menggerakkan semua potensi yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Sebut saja Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah, lembaga sosial kemasyarakatan, CSR perusahaan, dan lain sebagainya. Caranya tentu diminta keproaktifan pihak BPJS Kesehatan, untuk menginformasikan warga yang telah bayar.
Begitu lewat batas waktu pembayaran, BPJS Kesehatan langsung mengontak yang bersangkutan dengan menanyakan masalah yang mereka hadapi. Jika sangat pelik, maka pihak BPJS Kesehatan tinggal menghubungi pihak-pihak di atas untuk membayarkan iurannya.
Hal ini akan meminimalisir kasus-kasus seperti Dylan. Ia tentu bisa tetap mendapat layanan BPJS Kesehatan, karena iurannya telah dilunasi donatur.
Sesuai prinsip BPJS Kesehatan ‘Dengan gotong royong semua tertolong’ tentu akan membuat tak ada lagi masyarakat yang takut mendaftarkan diri menjadi peserta mandiri. Mereka akan merasa aman, jika sekiranya tak sanggup membayar iuran karena masalah keuangan.
Yakinlah, dengan banyaknya pihak yang terlibat usaha mempercepat cakupan kesehatan semesta akan lebih mudah untuk dicapai. Tidak hanya 95 persen, bahkan 100 persen masyarakat Indonesia akan mendaftarkan diri jadi peserta BPJS Kesehatan.
Donatur-donatur tersebut, selain bisa dimintai pertolongannya untuk membayar iuran bulanan, tentu juga bisa digunakan untuk membayar biaya berobat yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Asal pengelolaannya jujur, bakal banyak donatur yang bersedia menjadi pihak yang membantu.
Rawatlah kejujuran itu, sehingga tak ada lagi masyarakat yang wafat hanya karena ketidakadaan biaya untuk berobat. Semua orang berhak sehat dan mendapatkan layanan kesehatan yang baik di kala ia menderita sakit. (*)