Opini  

Kopi Siang untuk KI Sumbar

Gusnaldi Saman, Wartawan www.topsatu.com.(*)

Gusnaldi Saman

wartawan www.topsatu.com

SUATU ketika, saat Komisi Informasi (KI) Provinsi Sumatera Barat menggelar acara puncak berlabel “Anugerah Keterbukaan Informasi Publik”, di sebuah hotel berbintang dalam sekeping waktu yang indah, maka saat itu lakek tangan KI begitu terasa. Terlebih bagi mereka, pihak dari badan publik seperti Organisasi Perangkat Daerah (OPD), instansi vertikal, nagari/desa, sekolah, BUMN/BUMD dan lainnya hingga tokoh perorangan yang menerima penghargaan, kontan ini sebagai prestasi yang bakal tercatat dalam sejarah kelembagaan mereka. Begitu juga untuk kategori perorangan, tak banyak tokoh di negeri ini yang menerima penghargaan serupa.

Bahagianya minta ampun. Betapa tidak, usai penghargaan diberikan, maka berketuntanglah ucapan selamat dari berbagai lini. Tak cukup hanya melalui media sosial, esoknya media mainstream pun kecipratan iklan atau advertorial bahwa mereka (badan publik) telah dinilai lembaga berkompeten sebagai pemberi informasi yang baik untuk masyarakat luas.

Sayangnya, di balik momen yang rancak itu, tetap saja ada yang sinis karena penghargaan yang mereka terima belum sebanding dengan layanan (sesungguhnya) yang dirasakan masyarakat saat berurusan dengan kantor/lembaga mereka. Bahkan KI sebagai pihak yang memberi anugerah pun tak luput dari sentilan miring, bahwa apa yang diberikan tak terlepas dari opok-opok belaka atau sekadar menunjukkan eksistensi bahwa lembaga tersebut ada.

Hmmm, sudahlah! Tak perlu pula hal itu dipikirkan terlalu jauh. Karena tidak semua orang tahu, saat menentukan pilihan badan publik mana atau siapa tokoh yang akhirnya menerima penghargaan tersebut, yang sesungguhnya telah melalui proses yang panjang. Butuh waktu dan pemikiran enerjik dalam membuat sebuah keputusan sesuai kriteria-kriteria yang ditetapkan. Tak cukup hanya melalui seleksi administrasi, tapi juga ada tahap monitoring, visitasi dan lainnya.

Bayangkan, betapa banyaknya badan publik yang mesti diseleksi, sementara personel inti yang tersedia hanya hitungan jari sebelah tangan. Terkadang, sudah ke tumit peluh kawan, yang orang sinis juga. Hehe…!

Sssst, tunggu dulu. Bukan apa-apa. Ketika saya coba buka laman komisiinformasi.sumbarprov.go.id, ternyata dalam rekap Putusan Mediasi dan Putusan Ajudikasi KI Sumbar yang direntang sejak 2015 hingga 2021, nyaris per tahunnya masing-masing tak sampai 10 kasus bahkan ada yang nol. Ini rinciannya, Putusan Mediasi tahun 2015 (ada 5 kasus), 2016 (4), 2017 (4), 2018 (4), 2019 (6), 2020 (7) dan 2021 (0 kasus). Lalu untuk Putusan Ajudikasi pada tahun 2015 (3 kasus), 2016 (2), 2017 (6), 2018 (4), 2019 (11), 2020 (4) dan 2021 (6 kasus).

Bila merujuk pada fakta di atas, memang terlihat cukup minim sengketa informasi yang diselesaikan KI Sumbar. Maka tidak heran pula bila ada pihak yang melihat kalau kinerja lembaga ini baru sebatas memberikan penghargaan ketimbang serius dalam mengusung fungsi hakikinya dalam menjalankan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, sesuai esensi yang sesungguhnya.

Yang jelas, minimnya penuntasan sengketa informasi yang dilakukan KI Sumbar selama ini, baik melalui mediasi maupun ajudikasi, sesungguhnya bukan berarti keterbukaan informasi badan publik di negeri awak ini sudah hebat bana, sudah mantap. Tapi, hal itu terjadi bisa saja banyak masyarakat yang sebetulnya tak puas dengan layanan informasi suatu badan publik tertentu, hanya bisa ngurut dada karena tak tahu ke mana mesti mengadu. Kendatipun ada KI yang setiap hari bersiaga menjaga gawang, tapi mereka tak tahu KI itu apa ‘makhluknya’ dan kantornya di mana. Sebaliknya, ada masyarakat yang tahu tentang KI, tapi mereka pula yang tak mau mengadu dengan komisioner ini. Maleh, maabih-abih ari saja, begitu kira-kira kata mereka. Entahlah!

Hehe, jangan serius bana. Sejenak, sambil menyeduh kopi siang, ini ada sedikit oleh-oleh dari saya, untuk kadikunyah-kunyah. Untung-untung hilang kantuk kita, sehingga mata dan perasaan kita sama-sama menjadi lebih lega berkontribusi untuk negeri ini.

Pertama, sosialisasi tak henti. Teruslah memasifkan keberadaan KI di tengah masyarakat. Seperti diketahui, kehadiran KI diawali dengan penetapan keanggotaan Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) dengan Keputusan Presiden No 48/P Tahun 2009 dan baru ada di Sumbar lima tahun kemudian. Kehadiran KI untuk mengawal Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Artinya, KI bukan barang baru. Tapi harus diakui bahwa keberadaannya tak setenar lemabaga komisioner lain seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memang bukan untuk dibanding-bandingkan, karena masing-masingnya punya anak panah tersendiri dan bidikan yang berbeda-beda pula.

Kini, ada ranah yang paling mungkin bisa dimanfaatkan untuk memperkuat sosialisasi ini, yakni lewat website resmi KI Sumbar dan melalui berbagai bentuk media sosial yang kini bejibun banyaknya. Entah melalui Youtube, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, Telegram, TikTok dan lainnya. Dengan berlabel “KI Sumbar”, buatlah konten-konten menarik yang intinya mengenalkan kepada masyarakat tentang lembaga tersebut, peran dan manfaatnya untuk masyarakat luas. Ini harus update, aktual, sesuai kondisi kekinian. Jika komisioner tak punya waktu untuk itu, tak ada salahnya memanfaatkan tenaga sekretariat atau dengan menghadirkan content creator, dengan materi tetap berasal dari KI Sumbar. Tak masalah, anggarkan dana untuk itu. Saya yakin, ini sudah dilakukan. Tapi ke depan harus diperkuat lagi, terutama terkait konten atau materi yang dimuat di medsos tersebut.