Kedua, teruslah mematangkan sinergi dengan OPD terkait seperti Dinas Kominfo di daerah. Dengan lembaga yang satu ini sebenarnya tak sekadar bermitra, tapi sudah menjadi tempat ‘bergantung’ bagi KI. OPD tersebutlah yang diharapkan lebih aktif untuk memasifkan keberadaan KI di tengah masyarakat. KI Sumbar harus ikut memastikan pula OPD tersebut di berbagai kabupaten/kota selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) utama untuk mendorong PPID pembantu yang tersebar di berbagai OPD hingga tingkat nagari.
Ketiga, pentingnya penguatan PPID di setiap nagari/desa. Betapa tidak, ada namanya dana desa atau dana nagari, semua itu adalah uang negara yang dikelola pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat tersebut. Jumlahnya miliaran rupiah. Sebagai badan publik, masyarakat berhak tahu kemana saja uang itu digunakan. Sayangnya, masih banyak pihak nagari atau PPID pembantu di nagari yang dinilai tidak informatif. Dan, masih ingatkah, misalnya, ketika kantor Walinagari Nanggalo, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Kamis (30/09/2021) silam, disegel warga karena disinyalir pihak pemerintah nagari bersangkutan tidak informatif, tidak transparan dalam pengelolaan keuangan nagari.
Ya, begitu juga di nagari-nagari lain dimana masyarakat masih sulit mendapatkan akses informasi kalau sudah berurusan dengan anggaran. Belum lagi soal bantuan — yang belakangan rajin dikucurkan pemerintah untuk maopok-opok rakyat ini — entah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) maupun sembako, kiranya paling banyak pula informasinya ditanyakan warga ke pemerintah nagari. Sayangnya, tak semua masyarakat mendapatkan jawaban memuaskan.
Satu lagi, khusus untuk pemerintahan nagari ini, karena hampir semua daerah sudah ada akses internet, maka kehadiran website yang update di setiap nagari sudah boleh dikatakan wajib hukumnya. Yang terjadi di kebanyakan nagari saat ini, website umumnya sudah punya, tapi baru sekadar menjawab tanya belaka. Isinya, belum atau tidak informatif sama sekali. Padahal, PPID desa atau nagari bertanggung jawab mengkoordinasikan penyimpanan dan pendokumentasian seluruh informasi publik yang berada di badan publik nagari atau desa bersangkutan. Terlebih ada informasi publik nagari yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, bahkan ada pula informasi publik yang mesti tersedia setiap saat.
Keempat, KI Sumbar saya kira juga berkewajiban untuk mendorong pemerintah daerah agar terbentuknya Komisi Informasi di kabupaten/kota di Sumatera Barat. Ini sebenarnya sudah menjadi amanah undang-undang KIP, sejak lama. Tapi kita berleha-leha saja, seolah tak butuh KI di daerah. Padahal, dengan kehadiran KI di kabupaten/kota justru akan memperkuat pengawalan terhadap fungsi KI itu sendiri untuk menetapkan petunjuk teknis, standar layanan informasi publik, hingga kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi maupun ajudikasi.
Sekali lagi, tak apa-apa, KI Sumbar bicara lagi dengan para kepala daerah untuk memastikan, bahwa satu atau dua tahun ke depan sudah terbentuk KI kabupaten/kota di Sumbar.
Kelima, pentingnya penguatan dan pembinaan PPID. Sebenarnya, seperti amanat UU terkait, kiranya kehadiran KI di negeri ini sesuai fungsi dan tugasnya justru hanya lebih pada penetapan standar pelayanan informasi publik dan pelayanan penyelesaian sengketa informasi publik, tidak pada ranah pembinaan. Padahal, edukasi preventif soal keterbukaan informasi publik ini bagi para PPID misalnya, jauh lebih penting daripada harus menyelesaikan sengketa.
Kini, siapa pejabat yang ditunjuk untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan atau diminta publik, kontan haruslah mereka yang berkompeten. Mengerti apa yang diamanahkan UU KIP dimaksud. Terlebih, memang ada Bab Informasi yang Dikecualikan, seperti dalam Pasal 17, UU No.14 Tahun 2008 tentang KIP, yang kemudian ini pula yang sering menjadi celah munculnya sengketa informasi antara masyarakat yang membutuhkan informasi dengan PPID.
Yang dikecualikan itu seperti informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, merugikan ketahanan ekonomi nasional, merugikan kepentingan hubungan luar negeri, hingga isi akta otentik yang bersifat pribadi dan lainnya. Dari beberapa item yang dikecualikan itu pula, tak jarang PPID bersikukuh untuk tidak memberikan informasi. Padahal, — meminjam istilah Komisioner KI Sumbar, Adrian Tuswandi, dalam tulisannya bertajuk ”Penyidikan Itu Informasi Dikecualikan” — bahwa informasi yang dikecualikan itu bukan berarti terkunci rapat, tapi juga bukan pula telanjang bulat.
Tentang hal ini, kiranya dapat diterjemahkan dalam beberapa putusan ajudikasi KI Sumbar, misalnya dalam putusan No.72/II/PTSN-PS/KISB/2021 dengan Pemohon Irfan Suwandi (warga Kota Padang) terhadap Lurah Korong Gadang, Kuranji, selaku Termohon, kemudian putusan No.73/III/PTSN-PS/KISB/2021 dengan Pemohon Syarif Isran (warga Bukittinggi) terhadap PPID Kantor Pertanahan Pasaman Barat sebagai Termohon. Kedua sengketa informasi ini berawal karena Termohon tidak bisa memberikan informasi yang diminta Pemohon dengan alasan informasi dimaksud adalah informasi “yang dikecualikan”. Lalu, setelah melalui sidang, pertimbangan hukum dan kedudukan hukum (legal standing) baik Pemohon maupun Termohon, maka KI Sumbar sesuai kewenangannya memutuskan; memerintahkan kepada Termohon untuk memberikan informasi a quo dengan cara “menghitamkan dan atau mengaburkan” informasi yang dikecualikan tersebut… (lebih lengkap bisa dilihat di laman website KI Sumbar).
Soal putusan ‘menghitamkan’ dan atau ‘mengaburkan’ ini, menurut saya, yang sudah menyangkut persoalan teknis, yang kiraya harus diedukasikan pula untuk para PPID. Makanya, pembinaan, edukasi hingga tetek-bengek seputar hal-hal yang bisa berujung sengketa informasi, harus dipahami PPID sejak awal. Termasuk hingga model putusan, yang terkadang juga masih bisa diperdebatkan.
Intinya, bila masing-masing badan publik dan PPID sudah memahami marwah dari UU KIP tersebut, tentu persoalan-persoalan sengketa informasi dapat diminimalisir. Tapi, kalau tak ada sengketa informasi, untuk apa pula KI ada. Bubarkan? Hilang pula job kawan nanti. Hehe…
Ya, santai saja. Habiskan dulu kopinya. Sudah siang. Sudah terang. Seperti KI yang seyogyanya sudah berada di fase menerangi. Hmmm!(*)