PADANG – Bank Syariah Indonesia (BSI) bertekad menjadi top ten bank syariah secara global. Saat ini, dari sisi aset, BSI berada pada posisi ke tujuh di Indonesia. Sebelum merger, posisi tiga bank syariah himbara itu ada di peringkat sepuluh.
Langkah menggabungkan tiga bank syariah himbara pada Februari 2021, menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Fatah Palembang, Dr H Heri Junaidi MA menjadi sebuah langkah yang baik untuk meningkatkan akselerasi keuangan syariah di Indonesia. Terbukti, begitu merger, bank syariah jauh menjadi lebih kuat. Peringkatnya langsung naik ke-7 di Indonesia secara aset dengan market share 2,6 persen.
Heri mengutarakan hal itu saat webinar ‘Babak Baru Perbankan Syariah, Potensi dan Tantangan Perbankan Syariah di Indonesia’ yang diadakan oleh JES (Jurnalis Ekonomi Syariah) dan BSI secara virtual, Selasa (9/11). Webinar diikuti 60 jurnalis dari berbagai Provinsi di Sumatera yakni dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Bangka Belitung.
Selain Heri, webinar juga menghadirkan pembicara kompeten di bidangnya, yaitu Direktur Pengawasan OJK KR 7 Sumbagsel, Iwan M Ridwan, Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo dan Funding & Transaction Business Deputy Ichsan Mahyudi.
Menurut Heri, ada tiga potensi yang bisa dimanfaatkan BSI ke depan. Yaitu, efisiensi biaya, pembiayaan korporasi dan inklusi keuangan syariah. Dari sisi efisiensi, BSI tak perlu lagi investasi pada hal-hal yang tujuannya sama (market, penggunaan dan produk) dengan perbankan konvensional. BSI harus mampu melahirkan produk-produk dengan harga yang kompetitif dan fitur-fitur layanan yang lebih baik, sehingga berpotensi meningkatkan kinerja.
Dalam hal pembiayaan korporasi, dengan modal yang cukup besar setelah merger tiga bank, BSI seharusnya bisa akses pembiayaan proyek-proyek besar pemerintah dan pembiayaan korporasi. Potensi lainnya, inklusi keuangan syariah. Selama ini, layanan keuangan syariah belum menyentuh hingga ke desa-desa. BSI bisa memanfaatkan peluang itu.
“Dalam jangkauan yang makin luas, BSI berpotensi untuk meningkatkan kinerja layanan dan profit, serta meningkatkan literasi masyarakat tentang bank syariah,” ujarnya.
Sementara, peluang dan tantangan yang dimiliki BSI, tentu saja terbuka lebar yang berkaitan dengan industri halal. Antara lain, halal value chain, kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri halal. Menurutnya, BSI bisa menyasar pesantren dan memanfaatkan peluang membangun kawasan industri halal di Sumatera.
Halal value chain merupakan upaya terintegrasi industri mulai dari input, produksi, distribusi, pemasaran, dan komsumsi. Konsep halal value chain akan mendorong produk dan jasa ekonomi syariah dari hulu ke hilir, sehingga ruang lingkup pasar bisnis syariah semakin luas.
Kawasan industri halal saat ini di antaranya ada Modern Cikande Industrial Park, Bintan Inti Industrial Estate, Batamindo Industrial Estate, Jakarta Industrial Estate Pulogadung, dan Safe and Lock Industrial Park Sidoarjo Industrial Estate. Selain Batam dan Bintan, semuanya berada di pulau Jawa. Karena itu, besar peluang di pulau Sumatera juga akan berdiri kawasan industri halal tersebut, katanya.
“BSI harus berperan signifikan dalam manfaatkan peluang-peluang tersebut, baik dalam bentuk investasi, maupun pelayanan keuangan. Demi mempercepat tercapainya Indonesia sebagai pusat industri keuangan syariah global,” pesannya.
Sementara itu, Iwan M. Ridwan mengatakan, di masa pandemi covid-19, aset keuangan syariah nasional mampu tumbuh 17,32 persen (YoY) menjadi Rp1.922,93 triliun dengan porsi sebesar 10,11 persen dari total aset nasional industri keuangan.