Fluktuatifnya KIP Sumbar itu, wajar-wajar saja, mengingat ‘bergerak’nya baru berpijak kepada UU KIP, PP nomor 61 tahun 2010 tentang pelaksanaan UU KIP dan PerKI. Lembaganya (baca KI Sumbar) sudah ada sejak 2014. Tapi Perdanya belum ada.
Lantaran Perda belum ada, untuk menerapkan aspek keterbukaan informasi publik, belum sepenuhnya diamalkan. Bahkan ada badan publik yang cuek saja, termasuk di lingkungan Pemprov Sumbar. Bisa jadi karena belum paham. Bisa pula sudah paham tapi tidak mengamalkannya lantaran tidak ada punishment menanti jika tidak patuh.
Benar, dalam UU nomor 14 tahun 2008, diatur juga soal ketentuan pidana, tapi lebih mengarah kepada yang ‘melawan’ informasi publik saja.
Misalnya pasal 52, berbunyi badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).
Ada juga ancamannya lebih berat, yaitu pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) yang tertuang pada pasal 53, yaitu bagi orang yang dengan
sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen informasi publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sedangkan soal patuh atau tidak patuh terkait evaluasi yang dilakukan oleh lembaga KI, boleh dikatakan tidak ada. Tidak ada sanksi tegas bagi badan publik yang tidak patuh mengikuti monev.
Nah, sekarang Sumbar sudah punya Perda KIP. Kita berharap setelah ini dilengkapi dengan Peraturan Gubernur. Regulasi ini tentu juga memuat sanksi bagi yang tidak patuh. Tegasnya ada reward dan punishment terhadap badan publik yang menerapkan KIP dan patuh mengikuti monev yang dilaksanakan oleh KI Sumbar.
Jadi, lahirnya Perda KIP ini, momentum bagi Sumbar menjadi provinsi Informatif. Apalagi, menurut Ketua KI Sumbar Nofal Wiska dalam monitoring dan evaluasi (Monev), akan dilakukan perubahan dan inovasi-inovasi agar bisa menambah semangat badan publik menjalankan KIP.
Tentu kita berharap tidak sekadar meraih predikat Informatif saja melainkan juga benar-benar diimplementasikan secara utuh di lapangan. Informatif di atas kertas, informatif pula dalam pelaksanaannya.
Sebab sesungguhnya keterbukaan informasi publik itu adalah sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggara negara dan badan publik, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Dan bagi badan publik sendiri, makna hakiki dari implementasi keterbukaan informasi ini adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian reputasi dan kepercayaan publik terhadap badan publik akan meningkat. Semoga saja. (***)