Begitu pula pada zaman orde baru. Taufiq Ismail pun merekam dan mencatat berbagai ketimpangan sosial. Ketika gerakan reformasi berjuang menggulingkan kekuasaan Orde Baru, Taufiq Ismail tetap konsisten dan ikut ambil bagian dalam mengejawantahkan idealismenya lewat puisi. Antologi puisinya, Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999), kembali menjadi rekaman peristiwa dan saksi bicara zamannya.
Di luar dua antologi puisi tadi, banyak pula puisinya yang liris religius dan digunakan untuk lirik lagu-lagu Bimbo, Ahmad Albar, Chrisye, dan lainnya.
“Reputasinya sebagai penyair garda depan terbukti dengan banyaknya puisi-puisi Taufiq Ismail yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan mendapat penghargaan dari pemerintah, universitas, dan lembaga atau institusi dalam dan luar negeri,” paparnya.
Dia mengatakan pengaruh puisi-puisi Taufiq Ismail begitu luas memasuki dunia akademik dan wilayah intelektual. Namun sayangnya publik sastra cenderung mengapresiasi puisi-puisi Taufiq Ismail sebagai puisi an sich atau karya kreatif yang menyampaikan pesan dan hiburan belaka, dan bukan sebagai karya intelektual.
“Di manakah nilai-nilai intelektualismenya, estetikanya, kedalamannya, edukasinya, dan aspek lain yang masih tersembunyi? Di situlah tugas penting kritik (sastra) untuk mengungkap berbagai kekayaan terpendam dalam puisi-puisi Taufiq Ismail. Itulah mengapa kami mengadakan lomba ini, selain juga untuk menggairahkan kehidupan kritik sastra Indonesia, terutama kritik puisi tumbuh semarak dalam kehidupan kesusastraan Indonesia,” paparnya.(titi)