PADANG – Defika Yufiandra resmi menyandang gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasi dengan tema memperdagangkan pengaruh (trading in influence) dalam ujian terbuka pada Program Studi Doktor Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas, Jumat (23/2/2024).
Para penguji yang terdiri dari Prof Topo Santoso dari Universitas Indonesia (eksternal), Ferdi, Prof Kurnia Warman, Charles Simabura, Prof Ismansyah, Fadilla Sabri, Prof Elwi Danil, Prof Aria Zurnetti dan Yoserwan menyatakan mantan Ketua KNPI Sumbar itu lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Pada ujian terbuka itu Defika memaparkan, trading in influence (TII) merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kejahatan korupsi. Fokus utamanya terletak pada elemen “pengaruh” yang berarti korupsi terjadi karena penyalahgunaan kekuatan atau pengaruh yang nyata atau diperkirakan, bukan karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu (seperti dalam kasus penyuapan).
Namun pengaturan mengenai TII belum menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia, meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Saat ini tindak pidana korupsi di Indonesia dihukum berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, namun ketentuan undang-undang ini tidak mengatur mengenai trading in influence.
Meskipun ketentuan mengenai TII sempat dibahas dan menjadi bagian dari RUU KUHP yaitu pasal 691, namun Ketika UU tersebut disahkan ketentuan mengenai perdagangan pengaruh menghilang dari KUHP baru atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sehingga sampai saat ini hukum positif di Indonesia belum mengatur sama sekali mengani tindak pidana perdagangan pengaruh. Sedangkan pada praktiknya, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi TII yang telah dihukum, namun tidak berdasarkan ketentuan yang seharusnya.
Managing Director Kantor Hukum Independen (KHI) ini menjelaskan, perdagangan pengaruh merupakan suatu tindak pidana yang berbeda dengan suap dan gratifikasi. Dalam perdagangan pengaruh hal yang menjadi permasalahan adalah pengaruh dari si pemilik pengaruh yang dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan dengan membuat pejabat publik atau pemegang kebijakan mengambil kebijakan yang tidak seharusnya dilakukan.
“Perdagangan pengaruh terdiri atas memperdagangkan pengaruh secara aktif dan pasif, yang diatur dalam Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yaitu Konvensi Anti Korupsi PBB yang menunjukkan adanya komitmen internasional untuk memberantas korupsi. Indonesia telah meratifikasi UNCAC 2003 melalui UU No. 7 Tahun 2006, namun belum mengadopsi pengaturan perdagangan pengaruh dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ulas pria yang akrab disapa adek ini.
Hal ini menimbulkan kekosongan hukum dan kesulitan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan perdagangan pengaruh. Beberapa kasus perdagangan pengaruh seperti kasus Irman gusman dan Lutfi Hasan Ishaq, keduanya dihukum oleh ketentuan suap atau gratifikasi, sedangkan perbuatannya tersebut jelas dikategorikan sebagai perbuatan perdagangan pengaruh, karena keduanya bukan pemegang kekuasaan langsung kebijakan.
“Oleh karena itu, sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC 2003, Indonesia perlu melakukan pembaruan hukum pidana terkait pemberantasan korupsi, dengan mengadopsi pengaturan perdagangan pengaruh sebagai ius constituendum,” kata ayah dua anak ini. (mat)