Mati Ketawa Ala Netizen

Jangan mempercayai siapapun ( ini istilah pinjaman dari Tantowi Yahya, mantan Dubes RI di New Zealand). Tantowi yang terpapar Covid19 minggu lalu mencurigai OTG ( orang tanpa gejala ) berkeliaran di mana-mana, di tengah kita.

Buah Simalakama

Dimasa pandemi, dan resesi ekonomi kebanyakan keluarga Indonesia, diminta tinggal di rumah dilematis. Ibarat buah simalakama. Dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah. Bagaimana membiayai hidup sehari-hari keluarganya bagi pekerja harian.

Suara speaker dari masjid

Sebentar.
Izin mendengar sebentar pengumuman dari speaker masjid dekat rumah. Sudah seminggu puluhan warga sekitar komplek dan di dalam komplek perumahan kami terpapar virus. Pengeras suara tadi menyampaikan berita duka. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Itu salah satu yang bikin stres. Biarpun sudah mengurung diri di rumah.

Nasehat dari banyak teman, selama nyaman di masa pandemi, benar juga.
Segera cari hiburan. Dia menyebut media sosial dan rumpunnya menyediakan banyak saluran yang bisa bikin gerr. Saya coba praktekkan, ternyata tokcer.

Dengan menyimak suara orsinil netizen, suara rakyat di media sosial. Media sosial memang menjadi wilayah paling demokratis di Indonesia. Biarpun banyak yang ditangkap polisi maupun dihukum penjara karena menyalahgunakan medsos, tetapi tidak mengurangi semangat netizen berselancar di dunia maya. Bayangkan tercatat ada 200 juta orang terhubung di internet sekarang. Angka itu melebihi jumlah pemilih pada waktu Pemilu 2019.

Bagi yang punya jejak digital lihat medsos memang bisa sakit hati. Terus saja kesalahan mereka diungkit-ungkit. Terutama pejabat publik yang suka omong besar dan mencla mencle. Apalagi yang ketahuan cuma pencitraan. Jejak digitalnya tidak pernah terkubur. Semua jejak itu tersimpan sepanjang masa.

Mari coba kita uji. Beberapa berita media mainstream diposting sekarang sering diposting penerbitnya sendiri di Facebook (FB) dan rumpun medsos lainnyya. Artinya beritanya bisa dibaca masyarakat gratis. Saya meniai ini upaya media pers beradaptasi dengan disrupsi digital. Strategi bagian marketing untuk memantau segmentasi pembaca dan respons publik terhadap jenis berita yang diminati. Belakangan saya mengikuti “Tempo” “Republika” dan “Kompas”, serta beberapa lagi. Media memilihkan berita yang trending topic untuk diposting di FB. Saya mencatat beberapa tokoh yang selalu ramai mendapat komentar publik. Yaitu : Presiden Jokowi, Gubernur DKI Anies Baswedan, soal Ibu Kota Negara, soal Formula E, Kritik politisi PSI dan PDI-P, KSAD Jendral Dudung, Menteri Agama. Beragam komentar netizen atas berita-berita itu yang mengundang senyum karena kritis dan lucu. Bisa bikin ketawa guling-guling mengikuti mereka yang bebas, dan dijamin itu tidak ada di media mainstream platform manapun. Ambil contoh ketika media memposting berita “Jendral Dudung akan memimpin pemakaman korban KKB di Papua”.

Kata netizen,” Yeah, kirain mimpin penyerbuan untuk balas KKB-nya”. Lalu ditimpali netizen yang lain “Pak Dudung kan bersaudara dengan KKB, belum sempat saja diajak ngopi-ngopi”.

Berita tentang program Anies sering ditimpali netizen dengan pertanyaan “bagaimana dengan janji kampanye rumah 0 persen? Ditimpali netizen lain, dasar media tempe, mentang-mentang sesama kadrun”.

Adapun Presiden Jokowi masih saja ditagih soal mobil Esemka, ekonomi meroket, dan uang 11 T yang sudah di kantong. Komentar mengenai PSI dan Giring, yang paling kritis tapi lucu. Bikin tawa meledak. “Tempo” memberitakan politikus PDI-P menuntut Anies turun langsung mengawasi pembuatan sirkuit Formula E di Ancol. “Nah, boleh tuh mintain giring pekerjaan untuk tongkrongin sirkuit”. “Lebih tepat Giring giring kambing saja,“ timpal yang lain saja. Ibarat seribu komentar, seribu seratus yang berbalik menyerang Giring.

Netizen juga menciptakan banyak kepanjangan baru PSI. Salah satunya, “Partai Secuil Ibukota, masak cuma ngurusi Anies saja sepanjang hidup. Harun Masiku tidak diurus?”. Beberapa hari ini yang sering dimuat keterangan Gilbert, politisi PDI-P yang mengkritisi Anies. “Kenapa klen tidak urus Mensos nya yah yang ditangkap KPK karena korupsi dana bansos?”. Netizen lain menimpali begini. “Pokoknya kalau politisi PSI dan PDI-P menghujat Anies, berarti Anies sudah bekerja benar”. Yang paling kasihan Menteri Agama, netizen banyak off side mengomentari mantan Ketua Banser NU itu. Tapi begitulah suara rakyat. Suara Tuhan. Di masa pemilu, saat suara mereka dibutuhkan, politisi mengatakan juga begitu. Suara rakyat suara Tuhan. Mau apa lagi? (*)