Opini  

Media Sosial Membentuk Bahasa Masa Depan atau Mengikis Bahasa yang Sudah Ada

Oleh : Nathania Amanda, Rajwa Naylatul Izza, Annida Ikrima, Radhaa Aprillia,Wahyuni Afitri,
Best Fadila

Mahasiswa Universitas Andalas

Pada era digital saat ini, media sosial telah menjadi komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform-platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk berbagi informasi, tetapi juga berperan penting dalam membentuk cara kita berkomunikasi. Bahasa baru bermunculan, istilah-istilah gaul semakin dominan, dan penulisan formal nampaknya tergeser oleh penggunaan singkatan atau emoji. Namun, apakah perubahan ini menandakan adanya evolusi bahasa yang positif, atau justru merupakan ancaman bagi keberlangsungan bahasa formal?

Menurut Thaib (2021) media sosial adalah proses interaksi antara individu dengan menciptakan, membagikan, menukarkan dan memodifikasi ide atau gagasan dalam bentuk komunikasi virtual atau jaringan. Media sosial adalah teknologi digital yang memungkinkan penggunanya untuk dapat berbagi informasi, ide, dan konten dalam bentuk teks, foto dan video melalui jaringan dan komunikasi virtual atau secara tidak langsung. Media sosial adalah bagian dari perkembangan internet yang telah berkembang dan tumbuh secara luas dan cepat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221. 563. 479 jiwa dari total populasi 278. 696. 200 jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2023. Berdasarkan hasil survei penetrasi internet Indonesia tahun 2024 yang dirilis oleh APJII, tingkat penetrasi internet di Indonesia berada pada angka 79,5%. Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, terdapat peningkatan sebesar 1,4%.

“Ini menandakan adanya peningkatan yang konsisten dalam grafik tren positif penetrasi internet Indonesia selama lima tahun terakhir, yang mengalami kenaikan secara signifikan,” ujar Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, saat mengumumkan hasil survei pengguna internet di Kantor APJII, Jakarta, Rabu/31 Januari 2024.

Sementara itu, dari segi usia, mayoritas orang yang berselancar di dunia maya adalah generasi Z (kelahiran 1997-2012) yang mencapai 34,40%, diikuti oleh generasi milenial (kelahiran 1981-1996) yang sebanyak 30,62%.
Media sosial telah muncul sebagai wadah bagi lahirnya beragam istilah baru yang sering kali berasal dari singkatan atau akronim. Sebagai contoh, istilah seperti “LOL” (Laugh Out Loud), “BRB” (Be Right Back), dan “FYI” (For Your Information) telah menjadi bagian integral dari percakapan sehari-hari, tidak hanya di ranah daring tetapi juga dalam komunikasi tatap muka. Di samping itu, media sosial turut memperkenalkan kata-kata baru yang mencerminkan budaya digital, seperti “selfie,” “hashtag,” dan “meme”. Fenomena ini mengindikasikan bahwa media sosial berperan sebagai katalisator bagi inovasi linguistik. Istilah-istilah baru ini sering kali mencerminkan perubahan sosial dan teknologi, serta kebutuhan untuk mengekspresikan konsep-konsep baru yang muncul dalam kehidupan digital.

Selain dampak terhadap kosakata, media sosial juga berpengaruh terhadap struktur kalimat dan tata bahasa. Penggunaan bahasa yang lebih santai dan informal sering kali dapat diamati di platform-platform seperti Twitter dan Instagram, di mana batasan karakter mendorong pengguna untuk menyampaikan pesan secara singkat. Kondisi ini dapat mengakibatkan penyederhanaan struktur kalimat, penghilangan tanda baca, serta penggunaan ejaan yang tidak sesuai dengan kaidah baku.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh media sosial terhadap perkembengan bahasa adalah pedang bermata dua bagi bahasa indonesia. Di satu sisi, media sosial mendorong inovasi linguistik, mempercepat penyebaran istilah baru, dan meningkatkan kemampuan komunikasi antarbudaya. Namun disisi lain, penggunaan bahasa yang terlalu informal dan singkatan yang berlebihan dapat mengurangi kualitas bahasa, terutama dalam konteks formal seperti pendidikan dan pekerjaan. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi pemerintah, masyarakat dan instansi-instansi untuk menjaga keseimbangan antara adaptasi global dan pelestarian lokal. (***)