Oleh Khairul Jasmi
Tiga sekolah tua di Sumbar, di Padang, Padang Panjang dan Bukittinggi, jika diperbandingkan maka di Padanglah yang paling rusak. Dirusak oleh penjaganya sendiri. Sementara di dua kota lain, terlihat berwibawa, gagah dan dijaga sepenuh hati oleh masyarakat, pemerintah dan guru serta murid-muridnya. Tiga sekolah itu: ELS, Normal School dan Sekolah Raja.
Normal School, sekarang SMA 1 Padang Panjang yang dibangun 1918 oleh Belanda, sampai sekarang masih seperti itu. Bangunanya utuh. Halamannya luas dan rindang. Koridornya jangkung. Jauh lebih tua, di Bukittinggi, berdiri 1873 Kweekschool atau Sekolah Raja, sekarang SMA 2, bangunanya rancak, sekolah baru didirikan kemarin. Indah, mengagumkan. Pemerintah dua kota itu, menjaga sekolah bersejarah tersebut.
Akan halnya eks gedung Europeesche Lagere School (ELS) salah satu sekolah Belanda di Padang yang terletak di Jalan Balantuang yang didirikan pada tahun 1917, kemudian jadi SMA 1 Padang. Sekarang dijadikan kantor pemerintah, adalah sekolah peninggalan Belanda yang paling memprihatinkan. Dirusak oleh pemerintah, dengan sok mantap berkata, adaptasi. Wajah sekolah itu sudah tak tampak. Pemerintah kota yang lasak, tak peduli warisan masa lalu, bukan hal aneh di Padang. Kantor polisi (sekarang Polres) dirubuhkan, padahal di sanalah bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan. Tak hanya pemko Padang, pemerintah provinsi juga demikian, kuburan Belanda di Jalan Sudirman, tak bersisa. Sementara di Aceh, dijaga. Dan, yang paling heboh, dirubuhkannya Rumah Singgah Bung Karno di depan kediaman walikota di Jalan A.Yani.
Normal School
Normal School atau sekolah guru di Padang Panjang yang kemudian jadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan kemudian jadi SMA 1, merupakan sebuah contoh nyata bagaimana pemerintah tidak merusak sesuka hati, tapi memelihara. Sekolah itu berhalaman luas, ruang kelasnya lapang dan jendelanya jangkung berdaun dua, patah dua. Tiang-tiangnya elok.
Dibangun pada 1918 untuk para calon guru yang akan mengajar di Tweede Inlandse School sekolah rendah pribumi. Saat gempa 1926 sekolah ini aman-aman saja. Bahkan jadi dapur umum. Bangunan sekolah ini terdiri dari satu ruangan panjang dengan beberapa kelas, lalu beberapa bangunan lagi yang jadi kelas, kemudian aula. Ada juga bangunan sebesar itu di bagian belakang sebagai asrama. Di depan sekolah terhampar lapangan rumput nan luas dengan mahoni tua memagarnya. Di sekeliling lapangan ada jalan yang mobil bisa lewat gandeng dua. Sekarang sekolah ini, merupakan terbaik bangunan dan kompleksnya untuk sekolah zaman-zaman awal. Di sana tertancap sebuah plang: Cagar Budaya. Sekolah ini terletak dalam kota di Guguak Malintang, arah ke Batusangkar.
Sekolah Raja
Sekolah Raja nama lainnya Kweekschool Bukittinggi di depan Polresta, merupakan tertua yang masih utuh di Sumbar sampai saat ini. Di sini Tan Malaka dan Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi belajar. Di sini Van Ophuysen mengajar. Siapa itu? Jika Anda mengenal ejaan sebelum EYD, maka guru inilah yang membuat bersama Engku Nawawi Sutan Makmur, guru paling terkemuka sepanjang sejarah Minangkabau. Nawawi, guru hampir semua orang pintar dari negeri ini. Sekolah tempat ia didik dan kemudian menjadi guru oleh pemerintah Bukittinggi, dijaga bagai porselen. Juga oleh semua guru dan murid SMA 2 kota itu. Juga oleh warga kotanya. Sekolah ini didirikan pada 1857. Muridnya berdatangan dari semua wilayah di Sumatera.