Soal pengkotak-kotakan ini juga dikhawatirkan seorang pendakwah lain, Buya Hijjul. Katanya, andai setiap masjid atau mushala hanya mau menerima penceramah bersertifikasi, kontan ini yang bisa membuat kacau. “Hal ini juga sering menjadi bahan pembicaraan di antar penceramah sendiri. Padahal, bukankah agama mangajarkan, sampaikan (yang baik itu) walau satu ayat. Jadi, tak perlu harus menunggu sertifikasi segala,” ucapnya.
Selain soal sertifikasi penceramah, baik Ustadz Nasil, Ileh dan Hijjul, menyebutkan, bila ada kasus-kasus terorisme di negeri ini, janganlah cepat-cepat menghubung-hubungkannya dengan agama, dengan Islam. Entah siapa yang membuat tudingan, tapi fenomena menaruh rasa curiga itu, bergulir begitu saja. Pendeknya, rasa curiga yang menyudutkan Islam.
Sulitnya Membendung Rasa Curiga
Masih ingat kasus penikaman terhadap Syekh Ali Jaber di Masjid Falahudin Bandar Lampung, yang dilakukan pemuda berumur 24 tahun berinisial AA, saat mengisi sebuah kegiatan dakwah pada 13 September 2020 lalu?
Beberapa hari berselang, warga dikejutkan pula oleh aksi vandalisme, pencoretan tembok, penyobekan kitab suci Alquran, dan pengguntingan sajadah di Mushala Darussalam RT 05 RW 08, Perum Villa Tangerang Elok, Kelurahan Kutajaya, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (29/9/2020).
Lalu, belum lama ini, seorang pria di Kota Depok, Jawa Barat, diamankan aparat karena berusaha melukai seorang Ustadz H. Tajul di rumahnya, Jalan Masjid, Cinere, Depok. Beruntung Tajul dapat diselamatkan karena upaya percobaan itu dapat digagalkan santrinya. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (30/10/2020) sekitar pukul 03.15 WIB.
Sehari sebelumnya, nasib naas juga menimpa seorang pendakwah bernama Muhammad Zaid Maulana (37), yang diserang oleh seorang pria saat berceramah di Masjid Al Husna, Desa Kandang Mbelang Mandiri, Kecamatan Lawe Bulan, Kabupaten Aceh Tenggara, Kamis (29/10/2020) sekira pukul 21.30 WIB. Dalam insiden ini, korban dilaporkan mengalami luka di bagian tangan karena mendapatkan penyerangan oleh seorang pelaku diduga menggunakan senjata tajam.
Sebagian kecil kutipan berbagai peristiwa yang menimpa ustadz, penceramah atau pendakwah, termasuk pengrusakan simbol-simbol agama seperti di atas, misalnya, kontan cepat menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Lalu, dugaan dan rasa curiga berkembang liar ke mana-mana. Terlebih hal itu menimpa seorang ulama, pendakwah yang sudah punya nama besar, kiranya peristiwa tersebut dengan mudah tiba-tiba saja bakal dikait-kaitkan dengan radikalisme atau yang lebih pedas menyebut sebagai sebuah aksi yang berhubungan dengan terorisme yang dilancarkan oleh kelompok tertentu.
Tak hanya soal peristiwa yang menimpa secara fisik terhadap seorang pendakwah saja, tapi soal kebijakan terkait penerapan keagamaan pun bisa menjadi polemik. Penuh curiga, dan entah apalagi. Ya, sebut saja soal sertifikasi penceramah yang digulirkan Kementerian Keagamaan (Kemenag) RI dimaksud.
Padahal, kata Menteri Agama Fachrul Razi dalam berbagai kesempatan, dia mengatakan alasan program sertifikasi penceramah itu agar para pendakwah lebih berhati-hati dalam mengangkat tema ceramahnya.
Menurut Menteri Fachrul, banyak yang kurang sependapat mungkin, atau belum sependapat, tapi memang keadaan saat ini sudah harus dilakukan hal itu. Terutama tentang pentingnya menanamkan nasionalisme, dan tentang kehati-hatian mengangkat tema-tema ceramah.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, seperti diwartakan https://www.hops.id, menolak keras program sertifikasi penceramah itu. Apalagi, program sertifikasi penceramah itu ditujukan untuk mengeliminir gerakan radikal.