Dalam hal ini, naif sebenarnya jika kita berpandangan; terkait Tarbiyah Islamiyah kita cukup fokus pada pengembangan madrasahnya atau masyarakat sekitarnya saja, santriwan-santriwatinya saja, ataupun pada menjaga kelestarian kitab-kitab yang dipelajarinya saja. Semuanya kait-berkait sebagai organ kesatuan.
Di sisi lain, ini menjadi tamparan keras bagi Perti atas hilangnya peran dan signifikansi mereka pada pos-pos lain dalam Tarbiyah Islamiyah dalam belasan atau beberapa puluh tahun terakhir.
Absennya peran Perti tersebut tampak dalam beberapa kajian dan literatur tentang Tarbiyah Islamiyah, seperti R.E. Putri (2020) dan R. Satria (2019) yang mengaji pembaruan dan pelaksanaan pembelajaran di Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Pendidikan pesantren dan madrasah dalam artikel mereka tampak terus bertransformasi secara mandiri tanpa peran Perti. Begitu juga dalam riset M. Kosim (2013) tetantang Tradisi di Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Dalam artikel yang disebutkan terakhir terlihat, meskipun para ulama pendiri pesantren sekaligus adalah pendiri Perti, dalam tradisi pendidikan di Madrasah Tarbiyah Islamiyah tidak tampak hal yang mendekatkan mereka dengan organisasi ini.
Catatan tentang Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam literatur akademik belakangan bahkan terkesan jauh dari semangat ormas keagamaan dan cita-cita Tarbiyah Islamiyah.
Para elit yang cenderung pragmatis dalam politik praktis (H.P. Wirman, 2009) dan ketidakjelian dalam menyikapi persoalan kontemporer (D. Priyanto, 2019) menjadi gambaran yang diwakilkan para tokohnya.
Hemat saya, Perti seharusnya berperan sebagai katalisator keilmuan Tarbiyah Islamiyah pada masyarakat maupun kelompok organis lain yang tidak terjangkau dan terhubung serta merta dengan basis pendidikannya.
Dalam peran ini, Perti bergerak turun-naik. Perti turun untuk menyerap pesan, aspirasi, dan ijtihad keagamaan dari lapisan basisnya di madrasah, surau, dan pesantren, untuk selanjutnya mengomunikasikan, mengadvokasi, dan mengonsolidasikannya pada masyarakat, pemerintah, ataupun lapisan lain di luar basisnya.
Dalam sejarahnya, di tengah zaman politik adalah panglima, kontekstualisasi peran tersebut diafirmasi dalam bentuk partai politik.
Maka tidak heran, para tokoh yang berkiprah di tubuh Perti juga berjibaku berkontestasi dalam politik praktis.