Laporan Soesilo Abadi Piliang dari Mekah
MEKAH – Hawa dingin menyapu tubuh para jemaah umrah begitu menginjakkan kaki di pelataran Masjidil Haram yang terletak di pusat Kota Mekah, Kamis pagi (9/11), sekitar pukul 04.00 Waktu Saudia Arabia.
Mereka berjalan cepat agar mendapatkan tempat untuk sholat subuh berjemaah, terutama di posisi depan Ka’bah.
Di Masjidil Haram penuh sesak dengan manusia dari segala penjuru dunia. Begitu indahnya Allah Swt menciptakan berbagai suku dan ras di dunia seperti ras kaukasoid berkulit putih, bertubuh tinggi dan bermata biru, mongoloid berwajah Asia, negroid berkulit hitam, serta bangsa Arya dari Iran yang dikenal dengan ketampanan dan kecantikannya.
Di Masjidil Haram, tak terasa air mata saya jatuh tanpa bisa saya bendung, jiwa dan raga ini bergetar saat melihat Ka’bah dan keindahan komplek Masjidil Haram.
Selama ini, saya melihat Ka’bah hanya melalui layar televisi atau majalah. Sekarang saya dan sebagian besar jemaah asal Sumatera Barat yang, terutama yang berangkat dengan Rindu Baitullah, biro travel umrah asal Padang, bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Kami menginjakkan kaki ke Masjidil Haram sejak Minggu malam (5/11), setelah menunaikan serangkaian ritual ibadah umrah di Madinah.
Sebenarnya, impian menjalankan ibadah umrah ini pernah menghiasi mimpi saya dan istri saya, Yessi Priasti, saat kami dalam kondisi sekarat di Rumah Sakit Hermina di Padang pada awal Agustus 2021, karena menderita Covid-19 Varian Delta dan Badai Sitokin. Dalam mimpi kami tersebut, kami mengenakan kain ihram. Sejak itu, kami ingin mengenakan ihram dan merindukan Baitullah. Seizin Allah Swt, mimpi itu kini menjadi nyata.
Para jemaah begitu juga saya begitu takjub memandang keindahan Ka’bah yang luar biasa. Bangunan Ka’bah yang hanya berbentuk kubus itu memiliki daya tarik yang sedemikian kuat. Tidak sedikit orang ketika menyaksikan bangunan itu, apalagi pada waktu pertama kali, mereka terhentak, terharu, dan bahagia yang amat mendalam, hingga tanpa menyadari mereka melelehkan air mata, dan menangis tersedu-sedu.
Bangunan yang dikenal dengan sebutan ‘baitullah’ atau rumah Allah itu, menurut kisah dalam sejarah Islam, dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Ibrahim disebut membangun kembali dan bukan membuat, oleh karena sejak jauh lama sebelumnya, bangunan itu sebenarnya sudah ada.
Disebutkan di dalam kitab suci, bahwa Ka’bah adalah merupakan rumah yang pertama di bangun dalam sejarah kemanusiaan.
Bentuk bangunan ka’bah itu sendiri, sepintas tidak menarik, tidak ada nilai seni, dan juga tidak menggambarkan ciri khas rumah bangsa atau suku tertentu. Bangunan itu dibuat sederhana, akan tetapi selalu ditutupi dengan kiswah yang pada setiap tahun diganti. Biaya membuat kiswahnya itu, yang menurut informasi, amat mahal, hingga miliaran rupiah.
Menurut Ahmad Bazizi Yahya, Muthawif kami asal Madura, bangunan Ka’bah berada di tengan lembah, yang semula wilayah itu merupakan gurun pasir dan bebatuan. Semula di sekitar bangunan Ka’bah itu berupa bukit-bukit yang terdiri atas batu berwarna abu-abu atau hitam dan amat keras. Namun sekarang ini, keadaannya sudah berubah total. Atas kemampuan manusia menciptakan teknologi, maka batu atau bukit-bukit yang berupa batu besar dan keras itu sudah digusur dan diubah menjadi gedung atau bangunan yang menjulang tinggi, persis bangunan modern di kota-kota megapolitan.