Oleh : Eko Mardiono
Mahasiswa Program Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada
Pendidikan menjadi cara yang paling utama dalam menggapai tujuan negara sebagaimana yang telah tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan infrastruktur yang gencar dilaksanakan saat ini tentunya harus diimbangi dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan melalui pendidikan. Apalagi, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi yang harus dimanfaatkan sebagai modal penggerak kemajuan bangsa.
Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan untuk memanfaatkan bonus demografi yang akan dimiliki. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada tahun 2020 berada pada urutan 107 dari 189 negara, sedangkan untuk di kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu, menurut hasil survei kemampuan pelajar yang dikeluarkan oleh Program for International Student (PISA) menempatkan Indonesia pada peringkat 72 dari 77 negara, masih jauh tertinggal dari Singapura yang berada pada peringkat ke-2 dan Malaysia pada peringkat ke-56 (Utami, 2021).
Pendidikan dasar pada level SMP menjadi pijakan yang menentukan bagi siswa untuk menempuh pendidikan di jenjang selanjutnya. Namun, saat ini banyak terjadi kasus dan permasalahan pada siswa SMP yang memperlihatkan turunnya perilaku dan moral seperti masih maraknya kasus perundungan (bullying) di sekolah, berperilaku tidak sopan kepada gurunya seperti yang terjadi pada siswa SMP di gresik. Bahkan yang belum lama terjadi adalah kasus video asusila siswi SMP di Tasikmalaya. Selain itu, menurut data yang disampaikan oleh dr. Grace Wangge, peneliti senior Pusat Kajian Gizi Regional (PKGR) Universitas Indonesia atau SEAMEO–RECFON (Southeast Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition) terungkap bahwa Para perokok memulai mengonsumsi sejak usia dini. Sebanyak 43,4 % di antaranya mulai merokok pada usia 12 sampai 13 tahun atau ketika berada pada tingkat SMP (Herususilo, 2020).
Kondisi yang terjadi pada siswa saat ini memunculkan pertanyaan apakah pendidikan di Indonesia sudah sukses menghadirkan lulusan siswa yang bukan hanya memiliki kecerdasan pada aspek kognitif, tetapi juga memiliki karakter mulia yang mengandung nilai-nilai Pancasila, serta memiliki kesehatan jasmani dan kesehatan mental sehingga dapat bermanfaat demi kemajuan lingkungan sekitar. Pendidikan yang berkualitas di Indonesia seakan belum bisa dijalankan secara optimal, salah satunya disebabkan kebanyakan dari pihak sekolah maupun para orang tua yang mendefinisikan anak didik atau siswa yang cerdas adalah siswa yang hanya berprestasi di bidang akademik saja.
Konsep Merdeka Belajar yang dicanangkan pemerintah seharusnya dapat dimaknai dengan upaya peningkatan kualitas SDM melalui proses pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas sebagaimana yang telah diprakarsai oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara demi menciptakan siswa yang memiliki keseimbangan rasio (Intelektualitas), raga (kesehatan jasmani) dan rasa (karakter dan kecerdasan emosi) secara berkelanjutan pada seluruh level pendidikan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Ki Hadjar Dewantara juga menggunakan beberapa asas pendidikan diantaranya adalah asas Kodrat Alam yang menyatakan bahwa pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan untuk mengembangkan potensi di dalam diri tiap siswa. Ki Hadjar Dewantara juga memprakarsai konsep Tri Sentra Pendidikan yaitu siswa bukan hanya belajar di sekolah tetapi juga di dalam keluarga dan masyarakat.
Sebagai best practice, penerapan sistem pendidikan yang dijalankan di Finlandia sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, menurut Yonas (2021), seorang Researcher at European Studies, School of Strategic and Global Studies, Universitas Indonesia, faktor-faktor yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan sistem pendidikan di Finlandia antara lain pembelajaran yang dipersonalisasi dengan memberdayakan kemampuan tiap siswa karena siswa memiliki peran aktif terkait apa dan bagaimana siswa belajar untuk mengembangkan potensi diri. Best practice lainnya yaitu sistem pendidikan di Jepang, tujuan pendidikan di Jepang adalah menciptakan karakter yang unggul dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Salah satu budaya masyarakat Jepang yang masih terpelihara sampai saat ini adalah Kyouiku Mama (Ibu pendidik), yaitu seorang ibu (orang tua) selalu mendukung anak-anaknya untuk belajar dan membangun keseimbangan pendidikan yang baik dalam aspek fisik, emosional, maupun sosial.
Guna mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan yaitu menciptakan manusia unggul dan berkarakter mulia, dibutuhkan upaya yang nyata dan masuk akal serta dapat dicapai dengan melibatkan semua pihak, bukan hanya menjadi tanggung jawab tenaga pendidik, melainkan diperlukan peran serta dan dukungan dari orang tua. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui Program Logic Model (PLM) yang mampu menyediakan gambaran yang jelas dan sistematis terkait uraian dari setiap tahapan, mulai dari input, proses, output, outcome hingga impact yang dihasilkan.
Penyusunan PLM dimulai dengan penetapan results berupa outcome dan impact terlebih dahulu kemudian menerapkan strategi berupa program dan kegiatan yang berlandaskan pada keseimbangan rasio, rasa, dan raga. PLM yang dibangun terdiri atas 5 strategi yang saling terintegrasi untuk mencapai results yang diinginkan di dalam PLM ini yaitu: 1) Strategi I adalah peningkatan peran guru sebagai pendidik dengan program guru panutan; 2) strategi II yaitu pengembangan potensi diri siswa yang terdiri atas program siswa membaca, program siswa menulis, program siswa bicara, dan program siswa berwirausaha; 3) strategi III yaitu Penguatan karakter siswa yang terdiri atas program pendidikan anti korupsi, program siswa peduli, dan program pengembangan seni dan budaya; 4) strategi IV yaitu Peningkatan kesehatan siswa yang terdiri atas program peningkatan kesehatan fisik dan program peningkatan kesehatan mental; dan 5) strategi V yaitu dukungan orang tua kepada siswa yang terdiri atas program dukungan pengembangan potensi siswa, program dukungan penguatan karakter siswa, dan program dukungan peningkatan kesehatan siswa.
Untuk melengkapi peningkatan kualitas dari PLM yang telah dibangun (dikembangkan), perlu dilakukan pengujian apakah results yang ditetapkan benar-benar dapat dicapai oleh strategi (berupa program dan kegiatan) yang dirancang sehingga impactnya benar-benar dapat dirasakan oleh siswa (peserta didik). Pengujian tersebut dilakukan dengan menggunakan Results Based Accountability (RBA) yang dikembangkan oleh Mark Friedman (2015) dan biasa dikenal dengan istilah pengukuran kinerja 4 kuadran guna memastikan bahwa kinerja program, kegiatan, dan output dapat diukur baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mencapai outcomes yang tepat. Sudah saatnya, spirit merdeka belajar diwujudkan dengan metode pendidikan yang mampu mengembangkan potensi dan membangun karakter siswa dengan keseimbangan antara rasio, rasa, dan raga demi terciptanya siswa yang unggul dan berkarakter mulia sehingga dapat menjadi manusia yang sebaik-baiknya dan bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sekitar. (***)