PADANG – Kemdikbud di bawah Koordinasi Direktorat Perlindungan Kebudayaan mengadakan rapat lanjutan mengenai kemajuan pembangunan musem PDRI di Koto Tinggi, Sumatera Barat, Rabu (25/11).
Rapat dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom meeting khusus membahas rencana tata pamer museum PDRI ini. Peserta yang terlibat 26 orang. Hadir dalam rapat tersebut, antara lain; Nasir (mewakili Plt. Direktur Perlindungan Kebudayaan Fitra Arda), Rufbin Marpauang (Kemenhan), Gemala Ranti (Kadisbud Sumbar), Naswir (Kepala Kesbangpol Sumbar), Surya Helmi (tokoh Minang), Siti Fatimah (sejarawan), Aisiah (Kepala Labor Sejarah UNP), Kartum Setiawan dan Detty (perencana tata pamer musem PDRI; PT Inasa Sakha Kirana), dan beberapa perwakilan, pokja program dan evaluasi, pokja perlindungan bawah air, pokja inventarisasi, pokja dokumentsi dan publikasi dan tim teknis dit. Perlindungan kebudayaan.
Nasir sebagai tuan rumah menyampaikan laporan singkat terkait kisah ringkas perjalanan panjang pembangunan kompleks Monumen PDRI yang berawal dari ide para tetua dan tokoh Minang untuk mengabadikan peristiwa PDRI. Ide ini bergulir sejak 2011, 2012 diadakan sayembara, 2013 mulai dibangun kompleks Tugu PDRI dan selesai 2019 (khusus museum dan auditorium). Tahun 2021 rencananya akan dituntaskan pekerjaan tata pamer museum.
Dalam rapat tersebut, Surya Helmi sebagai salah seorang tokoh perintis yang mengawal pembangunan museum PDRI menyampaikan bahwa saat ini museum itu telah berdiri, namun masih sendiri dan kesepian. Butuh pendamping untuk menemaninya dengan menyegerakan pembangunan infrastruktur lain (plaza, cottage, masjid, dan akses jalan ke lokasi. Akses Jalan adalah yang paling penting dan perlu segera dibenahi karena medannya tergolong sempit, lumayan terjal dan berliku.
Nazwir juga menyinggung rencana pembangunan jalan lingkar yang akan menghubungkan Palupuh (Agam) dan Bonjol (Pasaman). Di masa depan sudah terbayang juga apa yang kemudian diucapkan Surya Helmi dan Siti Fatimah bahwa Tour De Singkarak juga wajib melewati kawasan wisata sejarah komplek Tugu PDRI Koto Tinggi ini. Pembangunan kawasan ini jangan sampai berhenti di tengah jalan. Tidak akan ada yang berkunjung ke museum PDRI di lokasi di tengah rimba tersebut tanpa ada fasilitas lain yang merayu pengunjung untuk datang ke kawasan itu. Progres kerja pembangunan kompleks tugu PDRI Koto Tinggi harus tetap digaungkan terus oleh generasi muda Minang masa kini.
Terkait tata pamer museum, Surya Helmi menyampaikan agar koleksi jangan asal tarok, utamakan bukti sejarah sehingga tidak terjadi pembohongan public. Jika koleksi itu replikasi harus dinyatakan dengan jelas.
Siti Fatimah menimpali agar konten (koleksi) museum PDRI jangan sampai anakronis, data dan fakta harus disajikan sesuai dengan konteks sejarah pada saat itu, peristiwa heroik harus ditonjolkan. Rufbin Marpaung menyampaikan agar aspek keamanan objek pamer juga diperhatikan, termasuk makna kunjungan dan hasil yang dirasakan oleh pengunjung. Sebelum desain tata pamer koleksi masuk ke tahap produksi sebaiknya lakukan uji publik. Sementara Aisiah mengomentari desain tata pamer museum PDRI yang dipaparkan oleh tim perencana masih sangat perlu ditinjau ulang kembali terkait story line dan detailnya mulai dari lantai 1 hingga lantai 6. Menurut Aisiah penggunaan istilah masih ada yang ahistoris, terutama terkait periode “revolusi” (lt.6).
Periode revolusi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, yakni 1945-1949, PDRI termasuk di dalamnya. Pada desain history line ditulis periode revolusi dimulai pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Desain yang ahistoris ini perlu diperbaiki supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
Menurut Aisiah, jika dicermati detil pengembangan story line, kisah PDRI tertumpu pada lantai2, empat lantai lainnya memaperkan tentang Agresi Militer Belanda, Pengembalian Mandat, Nasionalisasi dan Reformasi. Akibatnya porsi cerita dan kisah perjalanan sejarah PDRI terlihat belum dominan dipamerkan. Artinya detil tata pamer pada bangunan museum 6 lantai itu belum memperlihatkan napak tilas perjalanan sejarah PDRI sebagaimana yang dikemukakan oleh Gemala Ranti.
Aisiah mengingatkan agar ini menjadi fokus perhatian pihak perencana tata pemer museum PDRI, apa lagi jika akan menggunakan pendekatan kronologis. Namun demikian kerja keras tim perencana tata pamer layak diapresiasi jika dilihat dari desain galeri yang menerapkan konsep museum modern dengan sentuhan teknologi digital. Ini akan memanjakan pengunjung dari kalangan generasi milenial yang akan berkunjung dan mempelajari sejarah PDRI melalui media museum ini. Terkait tata pamer museum PDRI, Nazwir juga menyampaikan bahwa rangkaian peristiwa sejarah PDRI sangat perlu ditelusuri kembali, salah satunya tentang rumah tua PDRI di parak Kopi Bukittinggi yang disebut menjadi saksi bisu perjalanan sejarah PDRI yang berusia sembilan bulan itu. Rumah tua ini pernah dijadikan sebagai tempat rapat kaninet PDRI. Keberadaan rumah tua PDRI di Bukittinggi ini juga telah diunggkap dalam harian Singgalang dan penggiat kanal youtube Minangkabar. Hal ini sangat penting karena ada kaitan dengan koleksi tata pamer museum.
Bukan tidak mungkin diperlukan redesain tata pamer museum PDRI, bahkan melakukan penelusuran lebih lanjut agar konten yang dipamerkan betul-betul mewakili kronologis peristiwa, makna kunjungan dan rasa hayat sejarah maupun bela negara benar-benar bisa dirasakan oleh para pengunjung. Kartum dan Detty sebagai pihak perencana tata pamer juga mengakui perlunya saran dan masukan dari berbagai pihak, terutama terkait konten museum, tema per interior/area. Dany Jumastanto (pakar museum) juga menyampaikan bahwa pembangunan museum di Indonesia tergolong lemah pada kajian awal, pelibatan narasumber terbatas, tema dan koleksi seputar PDRI harus ditonjolkan, men show harus diutamakan serta sentuhan teknologi perlu memperhatikan ketersediaan pasokan listrik, jaringan dan perawatannya. Selain itu, untuk menguatkan esensi wisata sejarah di Kawasan tugu PDRI Koto Tinggi, barangkali juga diperlukan survai kebutuhan pengunjung dan harapan masyarakat setempat agar tetap terjaga harmonisasi pengembangan wilayah dan tata nilai budaya yang berlaku di lokalitas setempat. Harapannya keberadaan kompleks tugu PDRI Koto Tinggi menjadi sebuah pembuktian sebagai warisan sejarah nasional yang nyaris terlupakan meski bukti sejarah menunjukkan bahwa “NKRI tidak akan ada tanpa PDRI”.(ash)