Dia sering menyebut dirinya “montir pesawat” keliling dunia. Betul. Profesi sebagai teknisi pesawat terbang (chief aircraft engineer) yang membawa Iskandar Harun tinggal berpuluh tahun di Singapura, bekerja hingga pensiun. Sebelum hijrah pada tahun 1971 ke Singapura, dia bekerja untuk, dan digembleng oleh, maskapai Garuda Indonesia.
Dia pernah pula menetap di Filipina beberapa tahun. Melakukan perjalanan dinas ke berbagai negara. Termasuk ke pedalaman Papua dan Kalimantan, tentunya sebagai expatriate. Dan, kemudian menghabiskan hari tua di Australia.
Iskandar lahir 1935. Besar di Padang Panjang, walau berdarah Pariaman. Saya memanggilnya Pak Is. Dia tentu menyebut nama saja ke saya, walau sesekali memanggil “angku mudo”.
Saya pertama kali bertemu Pak Is tahun 2011 di Padang. Saat itu, kami sama-sama menjadi tamu Miko Kamal, seorang alumni Australia, pengacara dan aktivis sosial di Padang.
Saat itu, Pak Is sudah pensiun. Ia menetap di Jakarta dan sering bolak balik ke Australia karena keempat anaknya menetap di Sydney dan Melbourne.
Sudah pensiun dan tinggal sendiri di Jakarta karena istrinya sudah meninggal awal tahun 2001. Tahun 2014, Iskandar pindah permanen ke Sydney, bergabung dengan anak-anaknya. Saat itu usianya sudah mendekati delapan dekade. Setelah itu kami bertemu kembali di Sydney.
Kepindahannya ke Australia secara permanen menggunakan skema Parent Visa. Untuk biaya visa permanent resident (PR) tersebut, Iskandar bercerita bahwa, ia merogoh kantong sekitar 65 ribu dollar Australia. “Tak lama setelah pindah ke Sydney, saya masuk rumah sakit dan dioperasi atas biaya Medicare (BPJS-nya Australia). Uang yang saya bayarkan itu sudah dikembalikan oleh Pemerintah Australia, bahkan berlebih”, kenang Iskandar terkekeh. Hal ini mengingat semua biaya pengobatan pastinya lebih dari besar biaya yang beliau keluarkan untuk pengurusan PR.
Di Australia, setiap warga negara dan penduduk permanen secara otomatis mendapatkan asuransi kesehatan dari pemerintah Medicare, yang merupakan salah satu askes yang terbaik di dunia. Medicare diinisiasi tahun 1970-an oleh Gough Whitlam, Perdana Menteri dari Partai Buruh.
Begitulah beda antara negara seperti Australia dan Singapura. Australia menawarkan “kehidupan” yang lebih lengkap. Baik untuk bekerja secara professional, membesarkan anak-anak, memiliki property, menikmati pensiun dan menghabiskan hari tua. Australia menerima migran dengan tangan yang jauh lebih terbuka.
Di lain pihak, Singapura hanya menawarkan kehidupan professional dan penghasilan. Umumnya expatriate dari Indonesia yang bekerja di Singapore merencanakan masa pensiun dan hari tua kembali ke Indonesia. Begitu pula halnya dengan mereka yang bekerja di negara-negara kaya minyak di Timur Tengah, kaum professional migran tidak bisa merencanakan hari tua di sana.
MSCC
Tak lama setelah Iskandar pindah secara permanen ke Sydney, tahun 2015 ia mendirikan Minang Senior Citizen Community (MSCC) bersama dengan Saifuddin Djanaib, Eddy Latief dan Wan Noesjirwan. Ini adalah wadah para orang tua dan senior dengan tagline: “MSCC: Teman Anda di Hari Tua, Growing Old Together”.