Kerusakan di muka bumi sudah tak bisa dibendung lagi. Bukan hanya karena usia bumi yang semakin tua, tapi lebih karena kelakuan manusia yang tidak memikirkan keberlangsungan. Secara sadar ataupun tanpa sadar, manusia terus menyumbangkan kerusakan tersebut. Inefisiensi energi, tingkah laku yang tak ramah lingkungan, dan bahkan dari bangunan yang kita huni pun, berkontribusi mempercepat penurunan mutu lingkungan serta mengundang berbagai bencana akibat krisis iklim.
Dengan berbagai bencana lingkungan akibat krisis iklim tersebut, maka pembangunan berkelanjutan menjadi suatu hal mutlak yang harus dilakukan. Pemerintah Indonesia pun telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Target itu mengikuti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dimana emisi CO2 global yang disebabkan oleh manusia harus turun sebanyak 45 % dari tingkat emisi di tahun 2010 pada tahun 2030 nanti, dan mencapai Net Zero Emission di tahun 2050 untuk mempertahankan kenaikan suhu sebesar 1,5 derjat celcius.
Namun pertanyaannya, bisakah mengurangi emisi karbon tersebut jika berbagai sektor dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa kita sadari membuat gas-gas rumah kaca semakin meningkat? Salah satunya adalah bangunan yang ternyata menyumbang porsi paling besar dari emisi karbon, mencapai 37-38 persen.
Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI) yang juga CEO DEX Solusi Transit, Iwan Priyanto mengatakan, dari 37-38 persen gas rumah kaca yang dihasilkan dari bangunan, 28 persennya dari bangunan beroperasi dan sisanya dari material dan kontruksi. Artinya, sejak awal arsitek mulai membuat spesifikasi bangunan, sudah membuat ‘dosa’ dalam memperburuk emisi karbon.
“Belum lagi isu tentang energi (dalam konstruksi, red) 35 persen, air, sampah dan lain-lain,” kata Iwan saat menjadi pemateri dalam talkshow ‘Rumah Modular sebagai Alternatif Perumahan Masa Kini yang Ramah Lingkungan’ yang diadakan Tempo Institute, 1 Maret 2023.
Karena begitu seriusnya permasalahan emisi karbon yang dihasilkan dari bangunan, World Green Building Council mencanangkan bahwa pada tahun 2030, atau tujuh tahun lagi, seluruh bangunan baru sudah dalam kondisi net zero. Sedangkan pada tahun 2050, semua bangunan harus dalam kondisi net zero. Sepuluh tahun selanjutnya, seluruh sektor, baik energi, transportasi dan lainnya, dalam kondisi netzero.
Untuk mencapai net zero, usaha yang harus dilakukan di antaranya adalah dengan menurunkan konsumsi energi dan merobah gaya hidup menjadi lebih efisien. Karena, energi berbanding lurus dengan emisi. Walaupun faktanya masih ada residu emisi, dari embodied carbon, yakni emisi yang dihasilkan selama konstruksi bangunan. Maka, rumah modular adalah solusinya.
Konstruksi dengan sistem modular bisa menurunkan konsumsi energi dalam siklusnya sekitar 4,6 persen. Modular konstruksi juga bisa mereduksi sampah atau limbah bangunan 10 sampai 15 persen.
Pembangunan rumah modular saat ini mempunyai peluang besar. Terutama dari mandat Paris Agreement yang menekankan upaya pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa guna meminimalkan emisi gas serta mencapai target emisi net zero atau nol bersih dan membatasi kenaikan suhu global.
Dengan isu tersebut, desain bangunan harusnya lebih adaptif, lebih tahan banjir, serta aman dari kebakaran dan gempa. Modular tak mesti dari baja, tapi bisa juga dari kayu dan bambu sesuai kearifan lokal.
“Rumah modular jadi relevan saat ini. Apalagi perumahan di Indonesia menjadi pengemisi paling besar, hampir sekitar 60 persen dan 80 persennya dari low income housing,” ujarnya.
Rumah Modular