SARILAMAK – Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Jendral TNI (Purn) Moeldoko mengaku, peringatan Peristiwa Situjuah, adalah bukti nyata, jika api perjuangan berkobar dari Ranah Minang hingga masa kemerdekaan.
Hal ini diungkapkan Moeldoko, saat menjadi inspektur upacara dalam peringatan Peristiwa Situjuah ke-70, Selasa (15/1) di Lapangan Chatib Soelaiman Situjuah Batua, Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota. Lebih 5.000 orang tumpah dalam upacara.
“Sebelumnya, izinkan saya menyampaikan salam hangat dari Presiden RI Joko Widodo,” kata Moeldoko yang hadir bersama Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dan Komisaris Utama BRI Andrinof Chaniago.
Menurut Moeldoko, ada dua pesan kebangsaan yang perlu disampaikan dalam Peristiwa Situjuah, palagan yang menewaskan 60 orang lebih perwira dan prajurit TNI pada subuh buta 15 Januari 1949 lalu itu.
“Pertama, orang Minang ikut menentukan perjalanan bangsa indonesia dalam sebuah perjalanan panjang untuk menuju merdeka seperti Peristiwa Situjuah ini,” jelas Moeldoko.
Kedua, dalam mengisi kemerdekaan ini, orang Minang juga harus ikut menentukan kejayaan bangsa Indonesia. “Ranah Minang, melahirkan banyak pendiri bangsa,” sebut mantan Panglima TNI itu.
Makam Pejuang
Makam pejuang Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang gugur dalam Peristiwa Situjuah, 15 Januari 1949, berada dalam kondisi memprihatinkan.
Sejak dipugar semasa Mayjen Purn Ismet Yuzairi menjabat Pangdam Bukit Barisan, makam yang berada di Lurah Kincia, Nagari Situjuahbatua, serta di Nagari Situjuah Banda Dalam dan Nagari Situjuahgadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota tersebut, tak pernah direnovasi hingga kini.
Padahal, pejuang yang gugur dalam Peristiwa Situjuah, tidak hanya penduduk lokal. Tapi, juga tokoh-tokoh berpengaruh di Sumatera Tengah.Diantaranya, Chatib Soelaiman, pejuang kemerdekaan yang namanya diabadikan sebagai nama jalan utama dan nama lapangan di Kota Padang, Padangpanjang, Payakumbuh, Limapuluh Kota, dan Tanahdatar.
Kemudian, Arisun Sutan Alamsyah, Bupati Militer Limapuluh Kota yang berasal dari Banuhampu, Agam, sekaligus keponakan Mr Assaat Datuak Mudo (mantan Pj Presiden Republik Indonesia). Selanjutnya, Mayor TNI Munir Latief, putra dari Haji Abdul Latief (pemilik pabrik kain sarung “Cap Randai” dan “Cap Pahlawan” di Simpang Haru Padang), sekaligus keponakan dari Wali Kota pertama Padang, Abubakar Jaar.
Di samping itu, juga ada Kapten Zainudin Tembak (ayah mendiang Mayjen Ismet Yuzairi/mantan Komisaris Semen Padang). Kemudian, Kapten Thantowi (putra kandung Syekh Mustafa Abdullah, ulama kharismatik yang bersama saudaranya Syekh Abbas Abdullah pernah ditemui khusus oleh Bung Karno sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia), serta banyak lagi yang lainnya.