“Selain bahan dasar untuk produk masih standar, saya pun tidak perlu berkeliling sepanjang hari. Jika malam saya sering hanya mangkal di daerah Air Tawar,” terang Hanafi.
Seiring semakin maraknya wabah korona serta pelajar dan mahasiswa yang dirumahkan, penjualan Hanafi pun telah mulai seret. Ia hanya mampu menjual 300 tusuk. Itupun harus banyak berkeliling sehingga menghabiskan bahan bakar yang lebih banyak untuk motornya.
“Untuk menghabiskan tiga ratus tusuk itu saya harus berkeliling sampai ke Lubuk Buaya. Penjualan sekarang hanyalah untuk membayar angsuran motor saja. Jika tidak berjualan, takutnya motor nanti ditarik diler. Dengan apa lagi saya akan berjualan,” kata Hanafi sambil menggaruk-garuk kepala.
Meskipun begitu, baik Hanafi maupun Edi masih berasa bersukur masih bisa berjualan. Meski awalnya sempat mengalami kerugian karena menyediakan jualan sebanyak biasa, sedangkan penjualan hanya sekitar setengah.
“Kita siasati saja dengan mengurangi dagangan. Sempat merugi juga di awal. Tapi saya masih beruntung di saat kedai-kedai lain harus tutup,” pungkas Edi. (hirval)