JAKARTA-Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS Nevi Zuairina menilai selain permintaan penyertaan modal negara (PMN), Kementerian BUMN wajib memperhatikan agar BUMN yang telah diberikan PMN tidak meminta lagi.
Sejalan dengannya, sejumlah anggota Komisi VI DPR juga mengkritisi permintaan penyertaan modal negara (PMN) mencapai Rp67,82 triliun. Beberapa BUMN dinilai tidak layak mendapatkan suntikan modal negara.
“Kementerian BUMN harus mempersiapkan BUMN tidak menerima PMN lagi, sehingga menjadi usaha yang memberikan manfaat penuh bagi negara,” jelas Nevi dalam rapat kerja di Komisi VI DPR.
Politisi PKS ini menekankan, bahwa PMN untuk PT KAI mesti ditinjau ulang. Terutama untuk pembiayaan kereta api cepat Jakarta Bandung, Nevi melihat bahwa penggunaan APBN untuk persoalan ini tidak bijak di tengah kondisi keuangan negara serba sulit.
Bukti sulitnya keuangan negara menurutnya terjadi ketidak sanggupan APBN menanggung beban Subsidi BBM.
Nevi menambahkan, bahwa proyek Kereta cepat Jakarta Bandung belum terlalu mendesak dan penting untuk dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Ia mengkhawatirkan, cara yang seperti ini malah akan melemahkan BUMN dan ketergantungan dengan PMN. Pemerintah mesti bijak dalam menentukan skala prioritas proyek termasuk BUMN yang mendapat pendanaan.
“Sehingga, dengan sumber daya pendanaan yang sangat terbatas, pemerintah mesti terbiasa berpikir objektif, efektif, efisien, dan tepat guna dalam mengelola anggaran. Saya meminta, pemerintah menargetkan, bahwa 2024, BUMN dapat mandiri dalam permodalan, yang artinya tidak ada lagi PMN yang perlu dialokasikan dari APBN”, tukas Nevi.
Pada persoalan kesehatan BUMN secara keseluruhan, Legislator asal Sumatera Barat II ini menekankan agar pada 2022, BUMN dapat merealisasikan estimasi dividen yang mencapai Rp34 triliun. Lalu naik menjadi Rp43 triliun di 2023. Ditargetkan 2024 menjadi Rp 56 triliun.
“Seharusnya BUMN menjadi kontributor kesehatan keuangan negara dengan menyumbang pada APBN, bukan malah mengambil APBN. Jangan sampai PMN ini terus menjadi Beban APBN, yang ujungnya ketika APBN goyah, rakyat menjadi korban, seperti yang terjadi saat ini ketika Subsidi BBM dikurangi yang mengakibatkan efek berantai harga-harga komoditas naik yang akhirnya semakin menyengsarakan rakyat”, tutup Nevi Zuairina. (***)