PADANG-Sebuah novel berbahasa Minang, berjudul; Indak Talok Den Kanai Ati, telah terbit. Kehadiran karya Firdaus Abie, diharapkan mampu menambah dan memperkaya khasanah sastra di Ranah Minang khususnya, Indonesia umumnya.
“Kami memberikan warna tersendiri dengan menghadirkan karya ini. Tak banyak penulis yang mampu dan berani menulis dalam bahasa Minang,” kata Alizar Tanjung, Pimpinan Penerbit Rumah Kayu yang menerbitkan novel tersebut, di Padang, kemarin.
Kehadiran novel tersebut, kata Alizar, direspon positif berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat umum, tetapi beberapa orang dosen dari berbagai perguruan tinggi di Sumbar turut memberikan apresiasi dalam bentuk memesan dan sekaligus akan mengkaji materi yang disuguhkan dari buku tersebut.
Jurnalis senior yang juga penulis novel, Cerpen memberikan respon. Katanya, tak banyak novel ditulis dalam bahasa Minang. Jumlahnya (mungkin) hanya hitungan jari, tapi, Firdaus Abie sangat berani melakukannya. Judulnya, sangat kuat. Sekuat kisah yang dirangkai. Menariknya lagi, Firdaus Abie mengangkat setting cerita anak sekolah, setingkat SMA/SMK.
“Saya melihat, ada misi tersembunyi yang dibawa sang penulis. Tampaknya ia ingin membawa anak remaja (zaman now) lebih dekat dengan keseharian, dekat dengan “bahasa ibu”-nya. Salut atas keberaniannya!” kata penulis buku-buku biografi yang juga Komisaris PT Semen Padang.
Manurutnya, cobalah menulis dengan baik. Pakai bahasa ibu. Susahnya minta ampun, karena selama ini ada ‘jarak’ dan kita membiarkannya. Menulis dalam “bahasa ibu” memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Terasa ada terkatakan tidak. Banyak orang terjebak, menulis dalam bahasa Minang hanya memindahkan dari bahasa Indonesia saja. Padahal tak bisa seperti itu. Bahasa Minang pada hakikatnya adalah bahasa lisan. Bukan bahasa tulis.
Muhammad Subhan, yang juga berakar dari wartawan menyebutkan, kehadiran novel ini seakan “Membangkik Batang Tarandam” sebab, tak banyak pengarang Minang menulis menggunakan Bahasa Minang, kalau pun ada, jumlahnya dapat dihitung jari.
Sebagaimana novel-novel berbahasa ibu, juga nyaris tak ditemui lagi. Penulis-penulis era milenial di Sumatra Barat, siapa yang berani menulis menggunakan Bahasa Minang? Tidak ada. Kalaupun ada yang menulis, tentu dengan Bahasa Indonesia, gayanya ke-Barat-baratan, atau ke-Korea-koreaan. Ya bagaimana lagi, itu pula zamannya.
“Indak Talok Den Kanai Ati tak hanya enak dan perlu dibaca oleh penikmat sastera, tapi oleh siapa saja yang ingin merasakan “candu” cita rasa bahasa dan budaya Minangkabau. Harapan kita adalah bahwa karya ini dapat menginspirasi penulis-penulis muda, khususnya, untuk mengambil tongkat estafet pelestarian Bahasa Minangkabau secara serius. Nilai-nilai budaya sebuah bangsa terselip di dalam bahasanya, sehinga tak salah ungkapan Bahasa menunjukkan bangsa” kata Drs Januarisdi, MLIS, Kepala Bidang Sejarah Adat dan Nilai Tradisi Dinas Kebudayaan Sumbar.
Sastrawan dan pegiat literasi Sastri Y Bakrie, juga memberikan respon positif. Katanya, penulis mampu memainkan emosi pembaca dengan menghadirkan sosok yang kreatif. Disatirkannya kemiskinan melalui sosok tokohnya. *