PADANG – Satu lagi novel serial tokoh pendidikan Islam diterbitkan. Kali ini tentang seorang perempuan pejuang pendidikan dari Ranah Minang. Namanya harum dikenang hingga kini. Terkenal hingga jauh ke perantauan semenanjung.
Diniyah Puteri, itulah nama dari lembaga pendidikan perempuan pertama di bumi Nusantara yang didirikannya, jauh sebelum Indonesia diproklamirkan. Kiprah perempuan ini, membuat Pemerintah Hindia Belanda sering ketar-ketir. Jatuh bangun ia mendirikan sekolah untuk perempuan di tengah keterpurukan keadaan pada masa itu, semangatnya tak pernah padam demi kaumnya. Semacam pemberontakan ketika dominasi laki-laki jauh lebih bebas untuk mendapatkan pendidikan.
Di Dinyah Puteri yang membanggakan itu, proklamasi dibacakan pertama kali selain di Batavia. Pun Merah Putih juga berkibar pertama di sini. Ketika yang lain masih takut dan ragu karena mata Belanda masih saja mengintai tak percaya atas kemerdekaan Republik Indonesia.
Hingga kini berbondong-bondong para orang tua mengantar puteri-puteri mereka ke Diniyah Puteri, dengan harapan agar menjadi perempuan sejati, ibu bagi generasi masa depan. Perempuan adalah tiang sebuah negara. Kokohnya perempuan, kokohnya negara. Itulah beberapa semangat yang tak pernah padam dari perempuan ini.
Begitulah kesadaran terhadap pendidikan terhadap perempuan yang dibangkitkan dari sebelumnya, perempuan tak boleh mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Perempuan hanya perlu pendidikan yang cukup, sebelum bersuami.
Lika-liku cerita Etek Amah, demikian perempuan bernama lengkap Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (1900-1969), sangat hidup dalam novel yang ditulis oleh Sastrawan Khairul Jasmi, berjudul Perempuan yang Mendahului Zaman (PyMZ).
Ini novel kedua tahun 2020, menyusul serial tokoh pendidikan Islam sebelumnya, berjudul Inyiak Sang Pejuang (ISP) yang juga beredar pada awal 2020. ISP bercerita tentang kisah Syeikh Sulaiman Arrasuly, pendiri Madrasyah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang dan pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Perti adalah Ormas yang diperhitungkan di masa jayanya dalam sosial politik, seperti halnya Nahdhatul Ulama (NU) di Jawa, Muhammadiyah (Jogjakarta), Al Wasliyah (Medan), Nahdhatul Wathan (NW) di Mataram dan Alkhairaat di Palu (Sulteng). Khazanah Islam nusantara yang harusnya diketahui melalui berbagai model pendidikan oleh seluruh generasi penerus. Termasuk dalam bentuk novel.
“Saya menulis PyMZ ketika dimulai peirntah di rumah saja dari pemerintah dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sejak Maret,” ungkap Khairul Jasmi. Penjelasan ini sangat kuat untuk menyatakan alasan, produktivitas menulis ditopang oleh datangnya pandemi Covid-19, selain memang terkenal produktif menulis. Selamat membaca. [abdullah khusairi]