PADANG – Pemerintah telah berinisiatif mendorong lahirnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Undang-undang itu merupakan komitmen tegas Pemerintah untuk mempermudah investasi yang mampu ciptakan lapangan kerja baru.
Secara literatur, Omnibus Law (OBL) akan menjadi sumber hukum terbesar yang memayungi Undang-Undang lain di Indonesia. Omnibus law ini bakal mengganti, merevisi atau mencabut Undang-Undang lain yang sekiranya telah mengalami masa kedaluarsa atau sudah tidak mampu memangku sejumlah permasalahan yang ada.
Tujuan dari Omnibus Law Cipta Kerja, adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Fungsinya sendiri untuk menyederhanakan aturan-aturan yang menghambat proses percepatan ekonomi. Presiden ingin percepatan ekonomi lebih dari saat ini. Kebijakan ini, terutama ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja yang luas, serta tentunya meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Melalui RUU Omnibus law, segala macam keruwetan birokrasi dan regulasi dapat dirapikan. Jika satu sektor mampu bangkit dengan RUU ini maka akan dapat menggenjot sektor lainnya. Sama halnya dengan RUU Omnibus Law Ciptaker ini. RUU ini memiliki tujuan untuk memberikan perizinan berusaha serta iklim usaha yang makin kondusif
Ekonom Prof Firwan Tan, dalam dialog di sebuah stasiun TV menilai saat ini pro kontra yang terjadi terhadap OBL karena orang masih alergi dengan terobosan dan pembaruan. “Apalagi yang membahas UU OBL ini orang yang di ada DPR saja. Masyarakat awam kan tidak tahu bagaimana persisnya,” kata Firwan Tan.
Sebagai ekonom, katanya, akibat Pandemi Covid-19, semua negara terdampak, perekonomian anjlok. Namun bedanya dengan negara lain, tabungan atau cadangan devisanya banyak, sementara kita tak ada.
“Artinya apa, bagi negara yang pertumbuhannya menurun, harus cepat recoveri. Dan salah satu strategi yang sangat esensial, untuk mengentaskan kemiskinan, pengangguran, ketidakseimbangan, harus mengenjot investasi,” katanya.
Saat ini, negara yang butuh investasi untuk mengenjot ekonomi saling rebutan mendekati negara-negara kaya agar investasi masuk.
“Sekarang tinggal kita, apakah akan menunggu atau proaktif mengejar investasi itu. Kalau menunggu, kalau tidak akan bangkrut, paling kurang negara kita akan seperti saat revolusi,” katanya lagi.
Dijelaskan, kalau mau pro aktif tentu harus berubah. Salah satu model atau strategi mengejar investasi itu adalah dengan omnibus law yang memangkas dan menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan memberi insentif bagi investor.
Selama ini, lanjutnya ketika kita membawa investor apalagi pihak asing, perizinannya sangat sulit. Dapat izin pemkab, terkendala di provinsi, dapat di provinsi, di pusatnya mandeg. Akhirnya berputar-putar disitu saja dan investor pun angkat tangan.
“Ini saya alami sendiri ketika membawa pihak asing untuk berinvestasi hydropower di Kerinci tahun 2000 lalu. Namun karena birokrasinya sangat berbelit, hingga akihirnya mereka angkat kaki dan sampai sekarang tidak ada yang mengelola lagi,” ujarnya.