SUARA balam ber kutur kutur dari pepohonan, ada pohon durian , nangka atau cempedak dan pohon kelapa. Begitu juga suara burung murai dan pipit yang melompat dari dahan dahan kecil, menghiasi suasana pagi yang indah. Apalagi udara sejuk tanpa polusi udara karena permukaan tanah diterpa embun pagi yang masih sunyi.
Suasana ini dapat dinikmati di hampir semua sudut kampung di Sumatera Barat ini. Salah satu suasana nyaman itu dapat dinikmati oleh kami ketika melakukan olah raga yang mulai rutin kami laksanakan di Lubuk Basung.
Memulai langkah dari Lansano, halaman SMP 1 Lubuk Basung. Empat wartawan Agam selain penulis , Mursyidi, Yusrizal dan Irwandi mengambil rute jalan nagari yang dulu disebut jalan kelas IV, belok kanan di Simpang Cubadak, belok Parik Rantang Mudiak , belok ke arah selatan ke arah Labu Pacah, kembali memutar arah kanan melewati Parik Rantang Hilir terus ke Geragahan dan kembali ke arah jorong Sangkir dan finish kembali di Lansano.
Nyaris dua jam perjalanan, rute yang berjarak 8 kilometer itu kami tempuh, karena di pertengahan jalan, rombongan sudah mulai seperti “sayak anyuik”, tersangkut berhenti sebentar. Setidaknya di dua lokasi berhenti karena disapa dan diajak ngobrol penduduk setempat yang kami kenal.
Pantas Lubuk Basung terkenal sebagai lumbung beras. Sepanjang jalan yang kami lalui kiri kanan terhampar sawah yang luas dengan padi yang mulai menguning bak hamparan permadani Turki. Padi kelihatan subur dan buahnya sudah mulai boneh, tak lama lagi akan dipanen.
Tak ada ulat dan pianggang serta hama tikus, satu satunya musuh petani saat ini hanya kawanan burung unggeh, tapi tiap pagi di garo, diantaranya membuat jaringan dengan tali benang untuk menghalangi unggeh makan padi.
Padi yang bertumpak tumpak, menjanjikan ketahanan pangan penduduk pinggiran Lubuk Basung. Tapi bertumpak tumpak pula hamparan ladang jagung yang subur menghijau menjanjikan penghasilan pula untuk pemiliknya.
Eri Galuang (45) salah seorang petani Sangkir kelihatan hidup sejahtera dengan sawah ladi dan ladang jaguang. Kami menyaksikan Eri Galuang di pagi yang cerah itu telah menyabitkan rumput untuk ternak sapinya yang dua ekor itu.
“Alhamdulillah banyak sekali sumber kehidupan di bumi ini diberikan Allah, tinggal awaknya lagi, mau bekerja dan mamanfaatkannya atau tidak,” kata Eri yang sering mengumandang azan di Masjid Albadriyah Lansano itu.
Walaupun tak diketahui data statistik penduduk Lubuk Basung seperti Eri Galuang ini, tapi diyakini penduduk yang mau menggarap lahan seperti dia hidup sejahtera, setidaknya dua kali setahun, padi masak jaguang maupiah.
Sumber kehidupan bukan hanya dari padi dan jagung tapi pohon kelapa sudah lama menjadi sumber ekonomi masyarakat. Selain itu mereka yang kreatif bisa memelihara ayam dan itik disamping ternak, memeliharan ikan nila dengan memanfaatkan air melimpah di Lubuk Basung maka dibuatlah tebat tebat ikan disamping dan di belakang rumah
Dari perjalanan joging pagi kami itu semua sumber kehidupan masyarakat itu kami saksikan, sawah ladang yang luas, pohon kelapan yang berparak parak, sekarang mulai pula buah buahan menjadi tanaman selingan.
Suasana Jorong Parik Rantang, Sangkia dan Geragahan itu setidaknya menggambarkan suasana Lubuk Basung dan sekitarnya. Suasana seperti menjanjikan optimisme menghadapi gejolak ekonomi sebagai dampak Covid 19 dan pascanya nanti.
Covid 19 Insya Allah tak akan menyerang petani dan peladang, karena mereka bekerja tidak berkerumun dan dibawah siraman panas matahari. Karena itu untuk mereka tak berlaku imbauan bekerja di rumah, camat dan wali nagari, jangan disuruh suruh pula mereka, stay at home, tapi tetaplah bertani dan berladang. Semoga terus menikmati padi masak jaguang maupiah. (M.Khudri)