ADA dua peristiwa penting terjadi dalam perjalanan lembaga pendidikan Islam di Minangkanau akhir pekan ini. Penghujung Oktober dan awal November 2020.
Peristiwa pertama, langkah konkret perjuangan masyarakat Minangkabau untuk Syekh Sulaiman Arrasuli (SSA) agar bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia. Peristiwa kedua, Perguruan Diniyyah Puteri yang didirikan Rahmah El-Yunusiyyah pada 1 November 1923 genap berusia 97 tahun.
Rahmah tidak dinobatkan menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia, kendati beberapa muridnya memperoleh anugerah penghargaan tersebut. Lika-liku memperjuangkan Rahmah agar ditetapkan jadi pahlawan nasional ini cukup panjang. Tapi belum perhasil.
‘’Perjuangan untuk memperoleh pengakuan sebagai pahlawan nasional itu sudah lama, tidak hanya dilakukan oleh keluarga besar Perguruan Diniyyah Puteri, tetapi juga oleh Pemko Padang Panjang, Pemprov Sumbar, ilmuwan, dan masyarakat. Kendati begitu, kita tetap bersyukur, tahun ini (Selasa, 13 Agustus 2013 –red) pemerintah pusat menganugerahi Rahmah dengan Bintang Mahaputra Adipradana,’’ ujar Pimpinan Diniyyah Puteri Fauziah Fauzan El-Muhammady, sesaat setelah menerima anugerah itu atas nama keluarga besar dan ahli waris Rahmah.
Bintang Mahaputra Adipradana diserahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Ini merupakan penghargaan tertinggi negara yang diberikan kepada seseorang yang berjasa luar biasa di bidang pendidikan, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan perjuangan bangsa.
KINI, masyarakat Minangkabau sedang berjuang pula, agar Syekh Sulaiman Arrasuli dianugerahi pula pahlawan nasional. Perjuangan itu ditandai dengan pelaksanaan seminar nasional, mengkaji jejak langkah SSA yang akrab disapa Inyiak Canduang, terutama kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat lini pendidikan, diplomasi, politik, dan perjuangan fisik.
Seminar nasional itu berlangsung secara online atau dalam jaringan (daring), Sabtu (31/10). Narasumbernya merupakan pakar-pakar sejarah dan ahli kompeten, termasuk kalangan keluarga dan alumni lembaga pendidikan yang beliau dirikan, yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang, Agam.
Narasumber seminar yang merupakan salah satu usaha melengkapi persyaratan mengajukan seseorang menjadi pahlawan nasional itu, terdiri dari Prof. Abdus Shamad dari kalangan ulama, Prof. Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Ridwan Saidi (budayawan), dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Tarbiyah Islamiyah-Perti Prof. Alaiddin Koto.
Narasumber lainnya; Wakil Ketua Lakpesdam PBNU KH Ahmad Baso, Anggota DPR H. Guspardi Gaus, Penulis Novel Inyiak Canduang Sang Pejuang; Khairul Jasmi, dan Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Alumi MTI Canduang yang juga kepala Kanwil Kemenag Sumbar H. Hendri.
Semua narasumber pada seminar yang dimoderatori Dr. Aldomi Putra itu, mendasari kajian mereka sesuai keilmuan masing-masing yang dilengkapi dengan fakta-fakta sejarah. Para narasumber sepakat; kepada Inyiak Canduang memang sudah seharusnya disandangkan gelar sebagai pahlawan nasional.
‘’Beliau adalah ulama besar, tidak saja untuk masyarakat Minangkabau dan Indonesia, tetapi juga di kalangan dunia Islam. Perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Bukti apa lagi yang kurang,’’ ujar Khairul Jasmi yang juga merupakan pimpinan redaksi Harian Umum Singgalang.
Penelusuran fakta dan sejarah, serta kajian keilmuan yang dilakukan para narasumber, membawa mereka pada kesimpulan, bahwa sedikitnya ada empat poin penting yang mendorong pandangan bahwa Inyiak Canduang pantas dijadikan pahlawan nasional.