“Setelah berkonsultasi dengan orang tua, saya memutuskan untuk pulang ke Sumatera Barat,” jelas Edo, yang menyelesaikan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga tepat empat tahun.
Kuliah di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, jelas Edo, membuatnya makin matang. Dari bangku kuliah, ia bisa belajar bagaimana bisa bertahan hidup, tanpa harus berputus asa.
“Saat memutuskan pulang kampung, belum terbayang lapangan pekerjaan yang bakal dimasuki,” jelas Edo.
Ia makin linglung ketika melihat banyak perusahaan mengurangi karyawannya. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terjadi di banyak perusahaan. Jika pun tidak di-PHK, tetapi ada yang dirumahkan, tanpa pesangon dan uang bulanan. Ekonomi seperti berhenti berputar.
“Sekitar 10 hari sesampainya di rumah saya mencoba untuk menjadi agen sayur-sayuran,” ujar Edo mengenang.
Ia harus merangkak dari kondisi tersulit. Saat memulai usaha pada Juni 2020, harga sayuran sedang anjlok, pangsa pasar terbatas. Bayangkan harga cabe merah di bawah Rp10.000/kg, harga bawang sekitar Rp12.000/kg, lobak nyaris tidak berjalan, tomat sekitar Rp1.200/kg.
“Tidak ada harga sayuran yang menggembirakan,” jelas Edo.
Hanya secercah harapan yang tetap dipertahankan. Ia yakin badai pasti berlalu, suatu saat harga akan naik, pelanggan akan datang. Sekalipun tidak banyak, ia optimis akan ada perubahan.
“Sambil menunggu tahapan tes berikutnya, saya langsung menjadi agen sayuran,” ujar Edo.
Pada awalnya, ia hanya berusaha memasarkan sayuran milik keluarga dan saudara terdekat. Pelanggannya pun sulit didapat, ia harus menawarkan dagangannya kepada pedagang sayur-sayuran yang lewat di depan gudang sayurannya.
“Tidak banyak yang melirik, tetapi saya tetap bertahan,” ujar kelahiran 13 Oktober 1994 ini.