Sepi. Lelah, mungkin. Inilah Pasar Raya, Padang. Sudah merana, terutama sejak Terminal Lintas Andalas ditutup dan diganti mall. Sebuah tindakan sembrono dan untuk itu, pemko Padang tak pernah minta maaf pada warganya.
Walau begitu, pasar tradisional ini tetap hidup dengan segenap keruwetannya. Pasar Raya Padang pada Sabtu (22/4) tak benar-benar tutup. Pada Jalan Permindo tampak deretan tenda plastik, rumah bagi sebagian kecil PKL. Masalah utama di sini, pasar sudah penuh toko, PKL cari makan sekaligus terasa menganggu. Mereka tak hendak menganggu, cuma tradisi belanja urang awak yang serba gampang dan dekat ke jalan, membuat PKL menggalas di tepi jalan. Ini, sudah terjadi sejak awal adab 20.
Cari uang memang sulit. Lebih sulit dari mendapatkan tenda atau payung di pasar. Hidup keras, kadang sendu, sesendu tangis anak di rumah. Sepanjang sejarahnya Pasar Raya tak ramah pada PKL. Sepanjang itu pula, PKL jadi simalakama. Dibiarkan menjamur dan menganggu, dilarang, ada dapur yang menunggu. Tapi, banyak PKL kaya, kita saja yang icak-icak tak tahu.
Pasar Raya pada Sabtu lengang. Mobil lewat satu-satu di Permindo. Di luar Pasar Raya, toko hampir semua tutup. Pemilik atau penyewanya sedang berlebaran.
Kini bangunan Pasar Raya Fase VII telah rata dengan tanah, untuk dibangun kembali. Ini dimaksudkan agar pasar itu, ” lebih masuk akal.” Yang saya tahu, proyek bagus ini, atas prakarsa anggota DPR, Andre Rosiade.
Pasar ini sudah tak masuk akal sejak pemerintah kota menutup terminal antar kota/antar provinsi, Lintas Andalas, pada tahun 2000. Blunder dan pemerintah kian ke sini kian banyak salahnya, tapi tak pernah minta maaf pada warganya.
Terminal itu kini jadi mall yang bagian luarnya agak kotor. Tak tahu siapa yang punya. Terminal dalam kota jadi pusat perbelanjaan pula. Maka kemudian, Pasar Raya berangsur sepi. Sebagian pedagang buka toko di luar pasar utama itu.
Krodit di depan Masjid Muhammadiyah adalah juga kelemahan pemerintah. Untuk ini, juga tak pernah minta maaf pada rakyat. Pemko Padang meninggalkan Balaikota di jantung kota, juga pergi begitu saja, padahal kota ini tumbuh bersama rakyat.
Balaikota pun ditukar namanya jadi kantor walikota, terletak di By Pass, di lahan yang dulu terminal. Ganti Lintas Andalas. Kantor itu bukan balaikota lagi, meski di sana dipasang tulisan Balaikota juga.
Lantas Pasar Raya lambat-laun memaksa sebagian pemilik toko, menyewa orang untuk jadi PKL di jalan. Banyak warga Padang sudah bertahun-tahun menghindari Pasar Raya, karena sumpek dan macet. Apalagi sejak gempa 2009. Pasar seluas 74 ribu meter persegi ini, tersibuk di Padang.
Dan Lebaran kemarin, tenda-tenda warna-warni itu berdiri dengan kokoh. Lalu kapan pemerintah kota bisa benar-benar bisa membuat nyaman pasarnya? Kapan pemilik toko tak serasa menumpang di tokonya sendiri, karena dikepung PKL. Kapan PKL tidak merasa was-was. Yang paling hebat, kapan warga kota masuk pasar itu benar-benar sebagai konsumen? Dihargai. Bukankah mereka datang mau belanja?
Jika saja pendiri pasar ini, seorang kapiten Cina bernama Lie Saay tahu kondisi sekarang, mungkin ia akan marah. Ia mendirikan pasar ini lada 1880. ***