Payakumbuh Meretas Kembali Temali Sejarah Yang Terputus Dengan Nantong

Payakumbuh – Ninik mamak serta tokoh masyarakat Kota Payakumbuh mendukung pembangunan museum budaya di kota itu. Pasalnya keberadaan museum bisa mendatangkan multiplier effect bagi masyarakat. Apalagi dengan adanya museum itu, budaya dan tokoh pelaku, baik yang sudah tinggal nama maupun yang masih eksis, bisa di pajang disana.

Bukti persetujuan itu ditandai dengan penandatanganan fakta integritas yang dilakukan pasca Forum Group Discussion (FGD) tentang pembangunan museum budaya, yang digelar di kediaman Walikota Payakumbuh, Kamis (8/8) sore kemarin. Hadir sejumlah tokoh pada kesempatan itu, masing-masing perwakilan ninik mamak di Kota Payakumbuh, perwakilan bundo kanduang, tokoh masyarakat, budayawan, seniman, Mantan Walikota Payakumbuh Josrizal Zain, Mantan Wakil Walikota Payakumbuh Syamsul Bahri, Mantan Sekdako Irwandi Dt. Batujuah, penulis Fajar Rillah Vesky yang juga anggota DPRD Limapuluh Kota dan baru saja dilantik, serta sejumlah tokoh lainnya.

Dipandu Asisten 1 Setdako Payakumbuh Dafrul Pasi, FGD yang digelar itu mendapat atensi luas dari peserta yang hadir. Usai Josrizal Zain menyampaikan pandangannya terkait perlu adanya museum di Kota Payakumbuh, selain sebagai tempat literasi terkait tokoh yang ada di Kota Payakumbuh khususnya juga tokoh dari Luak Limopuluah, bisa juga untuk memamerkan benda-benda bersejarah. Apalagi banyak tokoh dan budayawan yang ada di daerah ini. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah mendunia. Salah satunya adalah Yu Dafu, tokoh lintas benua yang menjadi pahlawan di negeri China dan hidup di Kota Payakumbuh hingga meninggal tahun 1945.

“Ya, sejumlah orang-orang berpengaruh di China ataupun Kota Nantong, rupanya pernah menetap di Payakumbuh. Seorang diantaranya bernama Yu Dafu (baca: Yu Tafu). Dia merupakan pejuang, sekaligus sastrawan nasional China kelahiran 1896, yang dibunuh pasukan kompetei Jepang di jembatan Ratapan Ibuh, Payakumbuh, pada tahun 1945 lalu. Yu Dafu dulu tinggal di pasar Payakumbuh, tepatnya di toko deretan bofet Pergaulan dulu. Dia orang yang pintar berbahasa Jepang. Sehingga dijadikan mata-mata oleh Jepang. Tapi, karena dasarnya anti penjajahan. Yu Dafu tidak pernah memberi data valid kepada Jepang. Sebaliknya, dia memberi laporan gerak-gerik Jepang kepada warga Payakumbuh. Sehingga, akhirnya dia dibunuh,” cerita Josrizal, mengutip keterangan Sofian Tamam, warga Tionghoa yang sejak kecil menetap di kawasan Pecinan atau Kampuang Cino, Pasar Payakumbuh.

Menurut Josrizal, kesempatan kerjasama dengan China ini memang harus diambil kembali. Apalagi saat dirinya dulu menjadi kepala daerah, hal ini pernah dilakukan dengan menjadikan sister city (kota kembar) antara Payakumbuh dan Kota Nantong. Apalagi, dari cerita anak Yu Dafu yakni Yu Meilan yang saat itu berkunjung bersama rombongannnya, bentuk dan gaya Kota Payakumbuh mirip betul dengan Kota Nantong. Kalaupun ada bedanya, tipis saja. Nantong membujur di tepi pantai, sedangkan Payakumbuh cuma terbentang di pinggir Sungai.

“Dengan banyaknya persamaan, adanya pertalian sejarah Nantong-Payakumbuh, dan muncul keinginan dari para petinggi kedua daerah. Akhirnya, pada kesempatan itu juga, dimulai sebuah bentuk kerjasama, antara Dinas Pendidikan Payakumbuh dengan Dinas Pendidikan Nantong. Yang penting, hari ini lahir sebuah MoU atau kesepakatan kerjasama. Nanti, baru dimulai dengan mewujudkan kota kembar. Pokoknya, pertemuan hari ini ada arti,” tambah Josrizal, juga mengutip Haji Max Supangkat, etnis Tionghoa beragama Islam, yang menjadi penghubung Yu Meilan dan pemerintahan Nantong, untuk berangkat ke Indonesia ketika itu.

Bak gayung bersambut, keinginan dari tokoh-tokoh masyarakat di Payakumbuh itu juga menjadi keinginan dari pemerintah daerah. Pj. Walikota Payakumbuh Suprayitno, dalam pertemuan itu juga mengatakan, pasca kedatangan Prof. Yusuf Liu, delegasi the 2nd International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) 2024, penulis dan peneliti yang sedang menelusuri jejak Yu Dafu, sastrawan China yang lama tinggal di Payakumbuh pada tahun 1942-1945, keinginan itu kembali menggelora.

“Merawat sejarah dan menjaga cagar budaya itu penting. Dengan menelusuri jejak Yu Dafu, Penulis China terkenal yang pernah tinggal di Payakumbuh akan memberi dampak wisata dan pertumbuhan ekonomi jika kita bisa memanfaatkan monumen sejarahnya. Dalam perbincangan kami ketika itu, muncul gagasan membuat museum Yu Dafu untuk menarik wisatawan, terutama dari China. Hal itu mengingat Yu Dafu adalah tokoh besar di China yang juga dikenal sebagai pahlawan di China. Dalam monumen Yu Dafu di China tercatat Kota Payakumbuh sebagai salah satu tempat perjuangannya hingga terbunuh oleh Jepang karena tulisannya yang mengkritik invasi Jepang ke Sumatera,” ucapnya.

Pintu sudah dibuka. Jalan pulang yang dulu kelam, sekarang sudah mulai tampak. Keinginan yang mulia demi kemajuan Kota Payakumbuh harus terus dipelihara. Apalagi pemerintah daerah juga dituntut untuk menciptakan berbagai terobosan, demi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Ketika kesempatan itu datang, pemerintah dan semua stakeholder terkait lain harus mengambilnya.

Apa yang disampaikan Josrizal Zain, tentu perlu dihayati segenap SKPD di Payakumbuh. Sebab, keberadaan Kota Nantong, di China, saat ini menonjol sekali. Bahkan, dalam situs kerjasama ekonomi perdagangan antara Tiongkok dan Indonesia, disebut jelas, bahwa Kota Nantong merupakan kota yang ekonomi swastanya berkembang nomor satu paling cepat di China.

Tidak cuma itu, dalam situs ini juga ditulis, kalau daya hidup ekonomi swasta di Nantong, lebih hebat ketimbang kota-kota lain di China, seperti Guangzhou, Shaoxing, Hangzhou dan Quanzhou. Karena itu, meretas kembali temali sejarah yang terputus dengan Nantong, adalah sebuah keberuntungan bagi Payakumbuh. Justru sangat khilaf, jika peluang ini tidak ditangkap. (Jeffry ‘bule’ Ricardo)