JAKARTA – Keyakinan Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK, tidak mengabulkan gugatan untuk mengganti sistem pemilu legislatif (Pileg) sebagaimana dimohonkan dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, benar adanya. Menurut Fahri, para Hakim Konstituti masih memahami betul esensi dari demokrasi.
“Hari ini kita bersyukur bahwa akhirnya para hakim kita, memahami betul dan masih memahami betul esensi dari demokrasi kita bahwa sistem terbuka adalah keniscayaan,” sebut Fahri Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/6/2023).
Bahkan, lanjut mantan Wakil Ketua DPR RI ini, satu kewajiban bagi masyarakat demokrasi untuk menegakkan nya, karena tanpa keterbukaan di dalam memilih pemimpin, maka tidak akan bisa meminta pertanggung jawaban pemimpin secara lebih transparan dan terbuka.
“Jadi hari ini kita merayakan satu kemenangan dan semoga MahKama Konsitusi selanjutnya bisa betul-betul menjadi tidak saja the guardian of the contitution tapi juga the Guardian of Democrasy,” tutup Fahri Hamzah yang juga calon legislatif (Caleg) dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I tersebut.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya menyatakan, pemilu legislatif (Pileg) yang diterapkan di Indonesia, sejauh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak diubah, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2004.
“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh hakim konstitusi lain (minus Wahiduddin Adams), dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis siang (15/6/2023).
MK menyatakan, berdasarkan pertimbangan terhadap implikasi dan implementasi sistem pileg daftar calon terbuka, serta original intent dan penafsiran konstitusi, dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Diketahui, gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menggugat sejumlah Pasal di UU Pemilu yang bertumpu pada Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu legislatif proporsional daftar calon terbuka.
Lewat gugatan tersebut, enam pemohon masing-masing adalah Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, kader Partai NasDem Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono, meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Para pemohon berpendapat, sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan konstitusi. Sebab, Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UUD 1945 menerangkan bahwa anggota DPR RI dan DPRD dipilih dalam pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik. (Ery)