Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual

Keempat, segera melakukan pengkajian kepada keluarga inti anak korban kekerasan. Pastikan apakah setelah perkara hukum selesai, anak korban kekerasan bisa menajalni pendampingan pemulihan dengan keluarga atau tetap dengan pengasuhan alternatif. Bahkan jika terdapat data-data penguat terkait kegagalan pengasuhan, maka sesungguhnya terdapat peluang negara melakukan pencabutan hak kuasa asuh anak dari orang tua/keluarga. Hal ini merujuk pada pasal 13, 26 dan 30 UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kelima, menyiapkan proses reintegrasi sosial. Adalah tahapan paling penting agar anak siap dikembalikan ke lingkungan sosial terutama kelompok sebayanya. Penyiapan lingkungan ini mutlak diperlukan agar tidak ada teman sebaya maupun orang dewasa disekitar teman sebayanya yang berupaya menanyakan kembali segala peristiwa yang dilalui oleh korban selama ini. Persiapan reintegrasi sosial ini tidak bisa mendadak, dia harus dimulai sedini mungkin. Lakukan edukasi kepada lingkungan sosial secara terus menerus sebelum korban kembali berinteraksi, bentuk tim kecil dari lingkungan yang akan memantau proses jalannya reintegrasi sosial dan segera laporkan sekecil apapun hal-hal yang muncul dan akan mengganggu jalannya reintegrasi sosial dimaksud.

Jalan berliku dan panjang bagi pemulihan korban kekerasan seksual. Negara harus hadir dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak korban. Oleh karena itu dibalik semua itu, dibutuhkan satu perangkat sistem penanganan yang komprehensif dan terintegrasi, dibutuhkan kelembagaan pelayanan yang memastikan itu semua (Unit Pelaksana Tekhnis Daerah/UPTD) agar penanganan memenuhi kualifikasi sesuai standar operasional yang ada. Kita masih lemah dalam aspek ini, sementara korban terus berjatuhan. Jika begini sudah saatnya kita menghentikan perdebatan, dorong dan dukung pemerintah mengeluarkan regulasi apapun namanya untuk memastikan hak-hak korban kekerasan seksual dapat dipenuhi dengan baik. (*)