Apabila guru tidak memiliki pengetahuan tentang bagaimana mengevaluasi yang baik dan sesuai maka akan berakibat melemahnya moral guru. Salah satu kenyataannya adalah melakukan kecurangan dengan memanipulasi nilai raport siswa, tujuannya untuk mendapatkan predikat sekolah berkualitas baik. Bahkan, praktik manipulasi nilai inipun sudah dipraktekkan pada jenjang rendah yaitu SD/MI.
Tuduhan kecurangan guru dalam manipulasi nilai terkadang ditepis dengan bermacam alasan. Adanya rasa kasihan kepada siswanya, anggapan agar gurunya berhasil dalam proses belajar mengajar ataupun karena media dan metode belajar yang digunakan belum memadai. Sebenarnya guru hanya menginginkan cara cepat dan instan dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Entah sebenarnya ada kesalahan dalam media atau metode pembelajaran yang digunakan sehingga menyebabkan anjloknya nilai siswa. Karena tidak mau repot, guru pun akhirnya memanipulasi nilai dengan seenaknya tanpa peduli kemampuan siswa.
Pemberian nilai yang tidak disesuaikan dengan kemampuan siswanya akan berakibat pada ras puas dan tingkat percaya diri tinggi pada siswanya. Semakin puas dan semakin percaya diri seorang siswa, keinginan untuk belajar menjadi lebih baik lagi mulai surut. Mereka beranggapan untuk mendapatkan nilai yang baik tidak perlu belajar lebih giat lagi. Padahal sebenarnya antara nilai yang diterima dengan kemampuan individu tidak sebanding.
Kecenderungan sekolah mendapat sandangan berpredikat baik dengan cara curang, perlu ditiadakan. Percuma saja menyandang predikat baik namun output yang dihasilkan bermutu rendah. Lebih baik jika memberikan nilai apa adanya daripada memberikan nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan siswanya. Karena dampak yang akan ditimbulkan dari manipulasi nilai lebih buruk.
Jika praktik manipulasi nilai terus terjadi dalam dunia pendidikan jenjang SMA, SMP bahkan SD, kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Pendidikan yang semestinya mengajarkan siswa menjadi pandai, kini pendidikan mengajarkan siswa menuju pembodohan. Pembodohan yang nyata berasal dari pemberian nilai raport. Pembodohan dikalangan para penerus bangsa Indonesia. Kehancuran pendidikan sudah ada di depan mata. Tinggal bagaimana kita sebagai pendidik dan penerus bangsa bisa mengatasinya.
Penuntasan belajar menggunakan remedial teaching disebut-sebut sebagai dasar dalam pemberian nilai. Padahal prosedur remedial teaching dilakukan dalam batasan waktu. Jika dalam batasan waktu tertentu seorang siswa dinyatakan masih belum tuntas, nilai yang diperoleh siswa tersebut dituliskan apa adanya di raport sesuai dengan nilai sesungguhnya tanpa ada penambahan nilai sebagai “embel-embel” kasihan.
Sebenarnya saat memanipulasi nilai raport, hanya siswalah yang menerima dampak buruknya. Lebih lama lagi dampak ini berakibat pada kualitas guru bangsa Indonesia. Para pendidik yang sebenarnya belum mampu menjadi pendidik, dianggap sangat professional mencetak peserta didik menjadi pandai. Hampir separuh dari keseluruhan siswa mendapatkan nilai baik. Jika dilihat sekilas, kemampuan seorang guru dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut sudah mencapai tujuan yang telah dirancang. Keprofesionalan semu dari guru tertutupi dengan nilai siswanya yang menjulang tinggi. Ini merupakan borok pendidikan bangsa yang masih tertutupi. (***)