Opini  

Peran Lapau Sebagai Tempat Sosialisasi Politik Masyarakat Minangkabau

Oleh Nazwa Fatma Juvira (2310831018)
Mahasiswa Ilmu politik FISIP Universitas Andalas

Sosialisasi politik sebagai proses individu dalam mengenal sistem politik nyatanya tidak selalu didapat dari lembaga ataupun institusi formal seperti KPU, Bawaslu, ataupun partai politik. Nyatanya ada lembaga-lembaga informal ataupun kearifan lokal yang dengan sendirinya menarik perhatian masyarakat di suatu wilayah atau daerah tertentu untuk mendapatkan orientasi politiknya . Tanpa paksaan tanpa himbauan, sosialisasi politik sebagai media pembelajaran politik dilakukan dengan menggunakan pendekatan -pendekatan tradisional dan dikenal masyarakat sebagai budaya sehari-sehari yang mempermudah masyarakat dalam menentukan persepsi dan reaksi terhadap gejala politik yang berkembang. Salah satunya Lapau dalam masyarakat Minang yang dikenal dengan warung kopi.

Tempat yang awalnya dijadikan sebagai wadah praktik ajaran Minang beralih menjadi bilik sengit diskusi politik. Di mana, sudah merupakan hal lumrah setiap akan mengadakan kontestasi demokrasi, Lapau menjadi salah satu tempat bertukar informasi politik. Memang bukan hal baru, ketika banyak persepsi berdatangan mengenai moral etika terhadap perkumpulan pada warung kopi yang pada saat sekarang kerap kali mendapat stigma negatif dari kalangan masyarakat tertentu, tapi siapa yang mengira jika di ranah Minang, Lapau atau warung kopi menjadi wadah pendidikan politik bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh kemampuan instansi penyelenggara kontestasi demokrasi. Bahkan tidak jarang, akademisi politik terlibat dalam obrolan kalau untuk mengetahui bagaimana sudut pandang masyarakat mengenai fenomena-fenomena politik.

Obrolan Lapau atau ota lapau memang bukan obrolan yang mengacu pada standar akademik, tapi bagaimana kemudian masyarakat yang terlibat dalam obrolan mampu saling mengutarakan argumentasi. Ketika isu-isu hangat fenomena politik dibahas dengan secangkir kopi. Adapun waktu yang digunakan adalah waktu-waktu senggang setelah bekerja. Menjadikan percakapan yang dibahas terkadang intens, mulai dari isu nasional bahkan isu internasional. Di Minangkabau, Lapau adalah representasi orientasi politik yang tidak jarang menjadi sarana bagi masyarakat dalam menentukan suara dalam kontestasi Pemilu, bahkan menjadi pemantik api pergerakan setelahnya. Selain itu, terkadang masyarakat sendiri lebih nyaman untuk berdiskusi politik secara informal di Lapau ketimbang dengan staf atau anggota ahli dari lembaga atau instansi tertentu yang dianggap tidak memiliki pemahaman yang sama. Di Lapau, semua berhak mengemukakan pendapat, tanpa persoalan salah atau benar, tanpa berpatokan pada latar belakang menjadikan proses sosialisasi sendiri terjadi secara naluriah dan apa adanya. Seperti obrolan sehari-sehari dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Selain itu, kesuksesan Lapau di Minangkabau sebagai wadah sosialisasi politik juga dipengaruhi oleh melekatnya kehadiran Lapau bagi masyarakat ketimbang berusaha beradaptasi dengan beralih pada sosialisasi politik era sekarang melalui berbagai platform media sosial. Interaksi yang langsung dan interaktif di lapau atau warung kopi juga menjadikan isu politik yang dibahas terhindar dari salah paham.

Salah satu wilayah Sumatera Barat yang terkenal dengan sosialisasi politik melalui Lapau adalah Kabupaten Pariaman. Kita yang masih kental adat budayanya. Masyarakatnya yang masih kompak. Sehingga kelestarian kearifan lokalnya masih terjaga. Bagi masyarakat Pariaman, Lapau adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. Dari sore hingga malam, tidak jarang ditemui warung-warung kopi yang dipenuhi oleh masyarakat, terutama laki-laki dewasa. Meskipun sosialisasi politik yang terjadi tidak memiliki alur yang jelas, tapi maksud yang ingin disampaikan selalu tepat sasaran.

Namun, tidak semua informasi di Lapau dapat diterima. Lantaran, informasi yang berasal dari mulut ke mulut terkadang mengalami perbedaan makna sehingga memicu penyebaran informasi bohong. Sehingga diperlukan pemikiran yang lebih kritis untuk mencerna semua informasi yang didapat agar tidak memicu konflik kedepannya.

Memang, beberapa kali Ota Lapau pernah dijadikan sebagai sarana sosialisasi yang dimanfaatkan oleh instansi yang terlibat dalam kontestasi demokrasi. Namun, nyatanya inovasi tersebut hanya bertahan sementara waktu, meskipun tingkat antusias masyarakat cukup tinggi. Sangat disayangkan jika kearifan lokal yang mampu menjadi wadah sosialisasi politik untuk meningkatkan budaya partisipasi tidak dikembangkan dengan serius bahkan nyaris terlupakan.

Selain itu, nyatanya instansi seperti KPU atau Bawaslu dapat mengambil peran sebagai pihak yang mencegah beredarnya informasi palsu di tengah masyarakat dengan memberikan edukasi politik yang sesuai dengan regulasi tapi tetap dengan mengedepankan kearifan lokal dan suasana santai khas Ota Lapau. Mengingat Lapau yang nyatanya lebih menarik bagi masyarakat sebagai media forum diskusi masyarakat dalam usaha pembentukan opini publik yang ditunjang dengan suasana santai mampu menjadikan masyarakat lebih terbuka dalam beropini ketimbang pada sosialisasi sejenis yang cenderung formal dan kaku. Memberikan ruang-ruang diskusi yang nantinya akan berperan dalam pembentukan opini publik yang menjadi salah satu indikasi keberhasilan sosialisasi politik bagi masyarakat. Sehingga diharapkan adanya turut serta peran-peran lembaga adat ataupun nagari dalam melestarikan Lapau sebagai media sosialisasi politik yang memainkan peran penting dalam merubah perspektif masyarakat sekaligus sebagai langkah awal majunya budaya partisipasi aktif masyarakat dalam politik. (***)