Hal ini menyoroti bagaimana media massa mengubah masyarakat menjadi apa yang sering disebut sebagai “masyarakat masa”, dimana individu tidak lagi menjadi partisipan aktif dalam proses demokrasi, melainkan hanya menjadi konsumen. Ketika individu mengkonsumsi media, mereka menyerap pesan-pesan yang mendorong mereka untuk membeli produk, menyesuaikan diri dengan gaya hidup tertentu, dan menerima keadaan yang ada.
Pada saat yang sama media digital seperti media sosial memunculkan bentuk-bentuk perlawanan dan pemberdayaan baru. Contohnya seperti gerakan #PeringatanDarurat yang terjadi beberapa waktu lalu di berbagai platform media sosial, menunjukkan kemampuan media sosial dalam memobilisasi aktivisme dan menentang struktur kekuasaan yang dominan.
Dampak Media Sosial Terhadap Postmodernisme dan Konsumerisme di Masyarakat.
Media sosial telah menjadi bagian penting dari masyarakat modern, dengan milyaran orang di seluruh dunia menggunakan platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan lainnya untuk terhubung dengan orang lain, berbagi pengalaman, dan mendapatkan informasi. Tetapi, kemunculan media sosial juga diiringi dengan pertumbuhan postmodernisme dan konsumerisme, yang memiliki dampak besar terhadap cara berpikir dan perilaku masyarakat. Di era digital, perbedaan antara realitas dan representasi menjadi semakin kabur.
Menurut Jean Baudrillard (1997), pengaburan ini telah memunculkan “hipperalitas” dimana gambar dan simbol lebih diutamakan daripada pengalaman langsung. Sosial media, dengan penekanannya pada penampilan dan presentasi diri, secara langsung berperan penting dalam mempertahankan tren ini. Hal ini telah menyebabkan semakin kuatnya nilai-nilai konsumerisme, di mana orang lebih peduli untuk memperlihatkan citra tertentu.
Platform media sosial saat ini telah berevolusi menjadi alat pemasaran yang kuat dan mempengaruhi perilaku konsumen. Kolaborasi antara iklan, pemasaran influencer, dan konten yang berbasis algoritma telah merubah cara individu terlibat dengan produk. Platform media sosial berkontribusi penuh terhadap munculnya fenomena konsumsi tidak hanya lagi tentang membeli barang dan jasa, tetapi juga tentang membangun identitas dan mencari validasi sosial. Dengan adanya e-commerce atau marketplace juga membuat budaya konsumerisme semakin menjadi-jadi, hanya dengan menggunakan smartphone, masyarakat dapat membeli barang apapun dan dimanapun tanpa bergerak, hal ini menyebabkan “impulse buying” dimana konsumen melakukan pembelian yang tidak direncanakan sebelumnya, hanya berdasarkan emosi daripada pengambilan keputusan yang rasional.
Sekarang ini, di era postmodernisme, konsumerisme yang digerakkan oleh media sosial berupa kemampuannya untuk menciptakan keinginan untuk terus mengkonsumsi. Pengguna didorong untuk memperbarui pakaian, gadget teknologi, atau rutinitas kecantikan mereka agar dapat mengikuti tren yang berubah dengan cepat. Media sosial memperkuat konsumerisme, individu harus kritis memahami kekuatan-kekuatan yang membentuk kebiasan konsumsi mereka dan dampak sosial yang lebih luas dari hidup dalam budaya konsumen yang digerakkan secara digital.