Opini  

PPN 12%, Antara Optimisme dan Kehati-hatian

Oleh Mela Nadia

Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, FIS UNP

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025 menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah optimis kebijakan ini akan mendongkrak penerimaan negara untuk pembangunan infrastruktur, program kesejahteraan sosial, dan stabilitas fiskal. Di sisi lain, kekhawatiran muncul akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Kelas Menengah: Tulang Punggung yang Rentan

Kelas menengah merupakan motor penggerak konsumsi rumah tangga yang vital bagi perekonomian. Data BPS menunjukkan kontribusi kelas menengah terhadap total konsumsi masyarakat terus menurun dari 43,39% di tahun 2019 menjadi 38,28% di tahun 2024.

Tren ini mencerminkan melemahnya daya beli. Kenaikan PPN dikhawatirkan akan memperparah situasi, membuat kelas menengah semakin berhemat, dan pada akhirnya mengurangi konsumsi domestik. Dampaknya akan merembet ke sektor riil seperti manufaktur, UMKM, dan jasa yang bergantung pada permintaan domestik.
Stimulus dan Tantangan Implementasi

Pemerintah telah menyiapkan berbagai stimulus untuk meredam dampak kenaikan PPN, antara lain potongan PPh 21, diskon iuran JKK, diskon listrik, perpanjangan tarif PPh Final UMKM, dan perluasan akses Kartu Prakerja serta JKP.

Namun, efektivitas stimulus ini dipertanyakan karena sifatnya yang sementara. Diperlukan perlindungan jangka panjang seperti peningkatan upah riil, akses pembiayaan, dan perluasan jaring pengaman sosial.

Transparansi dan Akuntabilitas Kunci

Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan pemerintah mengelola dampaknya secara bijaksana dan menjamin transparansi serta akuntabilitas penggunaan penerimaan negara. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan secara efisien dan adil untuk program-program yang memberikan manfaat langsung, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Keadilan dan Keberlanjutan

Kenaikan PPN harus diimbangi dengan upaya konkret melindungi daya beli masyarakat, terutama kelas menengah. Jika tidak, alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini justru berisiko memperlambat pemulihan ekonomi dan memperdalam ketimpangan sosial.

Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara optimisme peningkatan penerimaan negara dengan kehati-hatian dalam mengelola dampak sosial dan ekonomi. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN dapat menjadi langkah menuju sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. (***)