Hendri Nova
Wartawan Topsatu.com
Air mata Sari tak kuasa ia bendung, saat menerima bantuan berupa telur satu tikar, beras, dan uang saku dari donatur yang hiba melihat kondisi keluarganya. Maklum saja, suaminya yang hanya seorang badut di lampu merah, kadang hanya mendapat uang sekedar untuk membeli bahan pokok berupa beras dan cabai.
Tak jarang mereka hanya makan berlauk garam, karena tidak adanya persediaan uang. Hal itu berdampak pada anaknya yang baru lahir, dengan ukuran tubuh yang tidak normal.
Aparat kelurahan menyebut anaknya terindikasi stunting, sehingga dimasukkan dalam penerima bantuan program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS). Sungguh ia sangat bersyukur dan menganggap ini jawaban dari doanya, agar anaknya tumbuh normal.
“Semoga bantuan ini menjadi ikhtiar kami untuk upaya tumbuh kembang anak yang normal. Mohon doanya, agar semua berjalan sesuai harapan,” katanya.
Tak hanya Sari yang mendapat bantuan BAAS. Beberapa ibu lainnya juga mendapatkan bantuan serupa, karena anaknya juga terindikasi stunting.
Fakta Stunting
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan seperti dikutip dari stunting.go.id, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4%, atau menurun 6,4% dari angka 30,8% pada 2018.
Pemerintah Indonesia sendiri mempunyai target untuk menurunkan prevalensi hingga 14% pada tahun 2024. Itu artinya, harus diturunkan prevalensinya sebesar 10,4% dalam 2,5 tahun ke depan.
Menurut Wakil Presiden (Wapres), K.H. Ma’ruf Amin, yang juga Ketua Tim Pengarah Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), setiap Kementerian/Lembaga (K/L) dapat menyusun rencana pencapaian setiap target antara yang menjadi tanggung jawabnya dan memastikan kecukupan dana, sarana, serta kapasitas implementasinya.
“Pelaksanaan program harus dipantau, dievaluasi dan dilaporkan secara terpadu dan berkala. Sehingga dapat diketahui perkembangan, capaian, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, yang kemudian kita bisa mengambil langkah berikutnya untuk memastikan target prevalensi 14% pada tahun 2024 bisa dicapai,” pintanya.
Lebih jauh, Wapres menekankan bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai ketua tim pelaksana penanganan stunting perlu didukung seluruh K/L terkait sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing.
“Selain itu, perlu dipastikan agar Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) digunakan sebagai pedoman untuk percepatan penurunan stunting di tingkat lapangan,” pintanya lagi.
Adapun terkait alokasi anggaran penurunan stunting di TA 2022 baik melalui APBN, APBD maupun APBDesa, Wapres meminta agar juga disinergikan.
“Kebutuhan anggaran penurunan stunting perlu dihitung lagi, dikalkulasi lagi, (dan) dikonsolidasikan agar lebih efektif dan efisien,” tegasnya.
Pada arahan penutup, Wapres meminta stunting difokuskan pada daerah-daerah dengan angka prevalensi tinggi dan daerah yang mempunyai jumlah anak stunting tinggi melalui intervensi yang lebih intensif, pendanaan yang terkonsolidasi dan terpadu, sehingga lebih efektif dan efisien.
“Selain Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat yang mempunyai prevalensi tinggi, perlu juga diperhatikan daerah yang punya jumlah anak stunting yang banyak, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Sumatera Utara. Daerah-daerah ini yang perlu mendapat perhatian,” pungkasnya.
Sementara Prof. Sandra Fikawati, MPH, Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), dalam diskusi daring Sambut Generasi Bebas Stunting, Rabu (3/8/2022) mengatakan, konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih rendah, hanya sekitar delapan persen. Prosentase itu masih di bawah negara Asia lainnya, yaitu Malaysia sekitar 30 persen dan Thailand 24 persen.
“Kondisi itu memicu stunting atau gagal tumbuh pada anak akibat kurang gizi kronis,” katanya.
Ia mengatakan, penurunan stunting di Indonesia masih jauh dari target nasional sebesar 14 persen. Hal ini berdampak jangka panjang, karena sangat mengganggu produktivitas ekonomi juga pertumbuhan negara.
“Salah satu pencegahannya dengan mengkonsumsi makanan mengandung protein hewani,” tuturnya.
Untuk mencegah stunting, asupan protein hewani tidak hanya dibutuhkan anak-anak dalam masa pertumbuhan. Tapi juga sangat penting sejak seribu hari pertama kehidupan, dimulai sejak ibu hamil hingga anak berusia 2 tahun.
Periode ini merupakan periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak, masa yang menentukan perkembangan fisik dan kecerdasan jangka panjang.
“Protein hewani selain mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap dibandingkan protein nabati, juga punya beragam vitamin dan mineral, untuk mendukung daya tahan tubuh. Oleh karena itu penting dikonsumsi setiap harinya,” ungkapnya.
Sedangkan Rachmat Indrajaya, Direktur Corporate Affairs JAPFA menyampaikan, pihaknya sebagai penyedia protein hewani di Indonesia, selalu memperhatikan penerapan Standard Operating Procedure (SOP) ketat, dalam membuat produk olahan protein hewani.
“Kami juga didukung tenaga lapangan yang profesional dan kami memastikan, produk olahan protein hewani yang dihasilkan memenuhi konsep ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal),” katanya.
Ia berharap, makin banyak masyarakat Indonesia yang mengonsumsi protein hewani, demi generasi unggul Indonesia di masa mendatang. Untuk itu tentu ekonomi masyarakat harus disejahterakan, agar ia mampu membeli protein hewani, agar kebutuhan protein keluarga terpenuhi.
Program BAAS tentu bisa berkoloborasi dengan JAPFA, sebagai penyedia protein hewani instan. Setidaknya dari dana BAAS yang ada, seperempatnya bisa dibelikan protein dari JAPFA dengan harga khusus, sehingga ada jaminan keluarga tersebut terpenuhi kebutuhan protein hewaninya.
JAPFA tentunya harus bisa melobi KASAD Dudung Abdurachman yang telah didaulat menjadi Duta Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS). Dengan harga khusus untuk keluarga terindikasi stunting, tentu JAPFA akan dipilih sebagai pihak penyedia protein hewani.
Jika lobinya masuk akal, tentu Duta BAAS akan menginstruksikannya sampai ke seluruh Indonesia, agar protein hewani JAPFA jadi bagian dari bantuan per bulan. JAPFA tentu akan mendapatkan respon positif dari penerima program BAAS dan akan selalu mengingatnya, jika nanti sudah bisa membelinya secara mandiri.
Semoga saja JAPFA sukses mendapatkan ladang amal ini, demi cita-cita memenuhi asupan protein hewani, menyambut generasi Indonesia bebas stunting. (*)