Pekerjaan rumah yang lain, mendidik petugas obyek-obyek wisata di sana agar ramah pengunjung. Seperti di obyek wisata air terjun, Sipiso Piso. Kebanyakan petugas seperti tak sadar mereka adakah agen pariwisata di lini terdepan.
Sampai di Tungging, Toba tetap berselimut asap. Tungging adalah bukit tertinggi di Tanah Karo. Seperti Kota Ruteng di NTT, Tongging sepanjang tahun dingin. Sebuah keunggulan tersendiri di masa sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara panas satu dua derajat. Kamar resort Simalem yang kami inapi pun tidak menggunakan pengatur suhu udara (AC).
Ketinggian Tongging 550 meter di atas permukaan danau. Ada yang menyebut ketinggiannya 950 m. Tongging merupakan kawasan puncaknya Sumatera Utara. Di kawasan itu berdiri Taman Simalem Resort. Obyek wisata yang luasnya 220 Ha.
Dari Medan menuju ke Simalem bisa ditempuh dengan perjalanan darat kurang lebih tiga jam. Hari itu Resort Simalem penuh pengunjung keluarga yang membawa anak-anak liburan sekolah.
Sayang Danau Toba diselimuti asap hingga esok harinya sampai kami meninggalkan Tongging menuju Medan. Padahal, semula kami merencanakan akan turun ke bawah, melihat dari dekat dan menyentuh permukaannya. Ini amanah Prof OK Saidin, kawan seperjalanan,”Kalau ke Danau Toba, sebaiknya sentuh airnya,” katanya.
Oh, iya, lupa mengenalkan. Prof OK Saidin adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( USU). Berdua dengan pengusaha Medan, Faris Bashel, merekalah yang mengundang dan menjamu kami untuk trip Toba ini. Sebabnya, saya sudah cerita kemarin. (Baca : ” Salam Dari Danau Toba ” catatan Ilham Bintang, 21 Juni 2023).
Prof Saidin dan Faris terharu mengetahui saya belum pernah ke Toba. Rencana trip pun dibuat ketika kami sama-sama menghadiri undangan peringatan Hari Wartawan Nasional di Ipoh, Perak, Malaysia, akhir Mei lalu.
Saya bertiga dengan wartawan senior Asro Kamal Rokan dan Syamsuddin Ch Haesy terbang dari Jakarta Selasa (20/6) pagi. Menumpang penerbangan Garuda GA 182. Senang menumpang pesawat itu. Seluruh kursinya terisi penuh penumpang. Menurut informasi rute Jakarta – Medan, jalur gemuk. Pulang pergi selalu penuh. Sebuah signal kehidupan akan lebih cerah Garuda ke depan.
Prof OK Saidin dan Faris yang menjemput kami di bandara Kuala Namu. Dari bandara kebanggaan warga Sumut itu, kami langsung dibawa ke Parapat. Seperti diterangkan dalam tulisan sebelumnya, kami sempat Isoma : Istirahat, sholat, makan di Pematangsiantar. Kota bersejarah yang melahirkan “Siantarman” julukan untuk tokoh- tokoh bangsa kelahiran daerah Karo. Antaranya, Adam Malik, Wakil Presiden ketiga RI, yang juga wartawan.
Faris kemudian mengajak kami menikmati kopi kedai “Sedap” yang berusia 84 tahun. Kopinya memang enak dan khas.Faris cerita ia sering sengaja ke Siantar hanya untuk menikmati kopi “Sedap”.
Kami tiba di Medan menjelang Maghrib. Berputar -putar kota sebentar kita hingga malam. Sempat memotret Lampu Pocong yang bikin geger di Kota Medan, Rabu (22/6) malam. Yang saya foto yang nyala, sedangkan yang mati, tidak. Banyak sekali soalnya. Kota Medan itu kini dipimpin Walikota Bobby Nasution menantu Presiden Jokowi yang punya gagasan memasang Lampu Pocong.
Luas Kota Medan, 265,1 km dengan penduduk 2.44 juta jiwa (sensus 2020). Saya berpikir kota ini ngeri-ngeri sedap. Zebra cross, jalur menyeberang di jalan protokol yang letaknya persis di depan rumah sakit dan sekolah, tampak tidak dipahami maknanya oleh kebanyakan warga kota. Sudah begitu tidak dilengkapi traffic light yang bisa mengatur orang menyeberang jalan aman.Sungguh mengerikan mendapati kendaraan tetap gaspol melintasi zebra cross beradu nyali dengan penyeberang jalan. (*)