PADANG – Pertunjukan seni tradisi berjudul Puti Bungsu yang ditampilkan Grup Parewa Limo Suku di Festival Nan Jombang Tgl 3 (FNJT3), Jumat (14/5) malam berlangsung apik. Dalam pertunjukan itu grup ini menampilkan cerita dengan balutan kesenian tradisi Minangkabau, seperti randai, tari dan musik tradisional.
Sama halnya dengan cerita rakyat Minangkabau, Puti bungsu pun mengangkat cerita tentang tujuh putri yang datang dari langit dan bermain ke bumi. Ketika Puti Bungsu dan enam saudarinya sedang asik mandi, muncullah Malin Deman mencuri salah satu selendang Puti Bungsu, sehingga Puti tak bisa lagi kembali ke khayangan.
Dengan kostum dan garapan yang lebih modern, pertunjukan Gruip Parewa Limo Suku itu pun membawa penonton larut untuk lebih menikmati jalan cerita.
Irmun Krisman, Pimpinan Parewa Limo Suku mengatakan, Puti Bungsu merupakan sebuah karya pertunjukan yang dikemas dalam bentuk kolaborasi unsur drama, tari, dan musik tradisional.
“Dan akan disuguhkan dengan konsep kekinian,” jelasnya.
Pertunjukan Puti Bungsu ini, katanya, mengandung pesan tentang kekuatan atau aturan adat di Minangkabau yang masih kental dan masih diterapkan sampai sekarang.
“Puti Bungsu adalah adik dari tujuh bidadari bersaudara, yang mana Puti Bungsu dipaksa untuk turun ke bumi oleh Kakak-kakaknya untuk pergi mandi di Telaga Puti. Ketika mereka sedang asik mandi, muncullah Malin Deman mencuri salah satu selendang tujuh Puti tersebut,” kata Irmun sedikit bercerita tentang gambaran pertunjukan nanti malam.
Sementara itu, Pimpinan Nan Jombang Grup, Ery Mefry mengatakan bahwa pada FNJT3 ini memang fokus menampilkan seni tradisi Minangkabau. Walaupun ada garapan dengan konsep kekinian, namun menurutnya sah-sah saja asalkan seni tradisi yang ditampilkan adalah yang sesungguhnya dan asli.
“Agenda FNJT3 ini, yang dihelat setiap bulannya memang bermaksud bagaimana seni tradisi Minangkabau bisa dikenal dunia. Bulan depan kita akan hadirkan kesenian Gandang Katitih yang berasal dari Solok Selatan,” katanya.
Dalam hal pengembangan dan pelestarian seni tradisi ini, Ery juga sempat menyampaikan kritikannya kepada pemerintah. Ia menyesalkan adanya pertunjukan seni tradisi yang dibawa pemerintah ke luar negeri, tapi tanpa mengusung seni tradisi yang sesungguhnya.
“Ada pula pemerintah membawa kesenian randai ke luar negeri dengan hanya menghadirkan empat orang saja. Randai itu sekurang-kurangnya sepuluh orang. Pemerintah sangat sering membawa kesenian Minangkabau tapi tanpa mencerminkan roh tradisi itu sendiri. Kalau memang tidak mau membantu, jangan menganggu,” kata Ery.
Saat ini, perjalanan penggiat seni tradisi di Sumbar sudah sangat baik jalannya. Jika pun ada niat pemerintah untuk membantu, tak perlu menggelar pembinaan atau sejenisnya lagi, karena para seniman sudah berjalan. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah ruang dan media yang bisa membantu para pekerja seni untuk lebih berkembang dan dikenal dunia. (wahyu)