PADANG – Komnas HAM menyampaikan rekomendasi untuk menarik kembali Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) dalam Menangani Aksi Terorisme untuk diperbaiki.
“Kami duah menyampaikan surat. Presiden diharapkan tidak menandatangani Rancangan Perpres sebelum dipastikan adanya kebijakan yang jelas dan sesuai prinsip negara hukum dan HAM, serta mengedepankan criminal justice system,” kata Beka Ulung Hapsara, Komisinoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Webinar yang diselenggarakan MARAPI Consulting & Advisory bekerjasama dengan Center for International Relations Studies (CiReS), LPPSP, Universitas Indonesia (17/11).
Beka menyatakan Komnas HAM tidak pernah menolak pelibatan TNI, tetapi memastikan seberapa jauh dan seberapa besar peran TNI. Komnas HAM melihat Rancangan Perpres bertentangan dengan pendekatan hukum yang menjadi paradigma UU No 5 Tahun 2018 dan UU No 34 Tahun 2004 yang menekankan aspek pelibatan TNI yang bersifat bersifat perbantuan (adhoc) dan memiliki sumber anggaran dari APBN. Rancangan ini masih bercirikan pendekatan war model yang berpotensi memunculkan pelanggaran HAM.
Sebelumnya, Feri Kusuma, Wakil Koordinator I KontraS dalam paparannya menyatakan jangan sampai perpres ini menjadi norma hukum yang memberikan kewenangan yang tumpang tindih antar kementerian dan Lembaga. KontraS dan Koalisi Masyarakat sipil sudah memberikan masukan kepada pemerintah, namun pada draft terakhir yang saya terima, secara substansi belum banyak berubah.
Terkait kewenangan penangkalan oleh TNI, Feri mengingatkan sebelum reformasi 1998, TNI memiliki kewenangan penagkalan terhadap ancaman domestic, sehingga mengakibatkan banyak efek negatif, salahsatunya adalah pelanggaran HAM. Reformasi 1998 telah berhasil mendorong perubahan dan mengatur hubungan antar Lembaga. Karenanya jika penangkalan ini dihidupkan kembali, maka akan kembali ke model di masa lalu. Menurut Feri, perhatian kita kepada RPerpres ini menjadi penting karena ini berhubungan dengan masa depan hukum dan demokrasi kita. Termasuk masa depan reformasi birokrasi TNI.
Muhamad Haripin, Ph.D, Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan konsep pelibatan militer yang umumnya juga terjadi di berbagai negara, dengan disertai ketentuan tentang limitasi dan ruang lingkup operasinya. Selain menjelaskan alasan tentang pelibatan militer yang dilakukan di beberapa negara, Haripin juga mengingatkan, tidak ada jaminan bahwa pengerahan tantara akan menghentikan aksi terorisme.
Terkait Rperpres, Haripin sepakat rancangan tersebut masih perlu diperbaiki, dan usulan Komnas HAM kepada Presiden untuk menarik rancangan dari DPR untuk di perbaiki sudah sangat baik. Haripin mengingatkan pentingnya pengawasan publik dalam pembahasannya.
Muhammad Arif, M.Sc, peneliti CiRes Universitas Indonesia menjelaskan tantangan negara demokrasi dalam dilemma melawan terorisme dengan mempertahankan prinsip demokrasi. Menurut Arif, perluasan peran militer berpotensi menurunkan kualitas demokrasi. “Jangan sampai dalam memerangi terorisme terjadi teror baru di masyarakat,” ungkap Arif. (rel)