Berdasarakan rencana pembangunan jangka menengah nasional telah ditetapkan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare termasuk tentang skema pengelolaannya yang terdiri dari hutan desa, hutan negara, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat serta kemitraan kehutanan.
“Selain di tingkat pusat, kebijakan ini juga diimplementasikan di tingkat Sumatera Barat sehingga perhutanan sosial menjadi isu strategis pembangunan jangka menengah sumbar yang merupakan bagian dari isu produktifitas dan nilai tambah sektor pertanian, kehutanan,” ujarnya.
Kebijakan ini, tambah Muzli, sudah dimasukkan dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Sumbar Tahun 2016-2021. Dalam RPJMD tersebut disebutkan bahwa perhutanan sosial merupakan salah satu upaya pemerintah daerah Sumbar dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mengingat Sumbar memiliki kawasan hutan seluas lebih dari 2,2 juta hektare atau sekitsr 54,4 persen dari luas provinsi Sumbar.
“Kawasan hutan ini terdiri dari fungsi kawasan suaka alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan produksi konversi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Muzli, sebanyak 900 dari totam 1.159 nagari di Sumbar berada di kawasan hutan. Kondisi geografis ini menjadi alasan penting untuk mengimplentasikan perhutananan sosial di sumbar..
Sehubungan dengan itukah, lanjut Muzli, komisi II mengusulkan ranperda perhutanan sosial menjadi usul prakarsa DPRD.
“Sehingga bisa mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan dalam perhutanan sosial sehingga pengelolaan hutan kedepannya dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam sekitar hutan dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan,” paparnya.
Secara sosiologis dapat terlihat tatanan hidup masyarakat Sumbar memiliki keterikatan dengan hutan, keterikatan hak, asal usul sebagai bagian dari tanah ulayat, keterikatan religius yang tergambar dari praktek pengelolaan adat di nagari desa dengan berbagai berbagai tradisi sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Seperti tradisi membuka kapalo banda ketika memasuki waktu tanam padi yang juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan bentang alam baik mengenai penjagaan hulu air yang merupakan bagian hutan,” ujarnya.
Dengan aliran sungai dan area pertanian sebagai pemenuhan pangan lokal masyarakat keterikatan-keterikatan tersebut mesti menjadi landasan sosiologis dibentuknya ranperda perhutanan sosial.
Sementara itu, untuk tujuan, Muzli menjelaskan, pembentukan ranperda ini diantaranya untuk mewujudkan kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan dan menampung dinamika sosial budaya yang memerlukan percepatan akses legal berupa persetujuan pengakuan serta peningkatan kapasitas masyarakat.