AGAM – Azan zuhur berkumandang, kabut sesekali menyelimuti Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Merapi, tempat para relawan mendirikan posko. Di kuduk gunung yang erupsi itu, relawan masih berjibaku mencari korban erupsi.
“Ada beberapa korban masih berada di tugu Abel, karena gunung masih erupsi menyulitkan kami untuk evakuasi,” kata salah seorang relawan dari sambungan telepon.
Informasi sementara yang diperoleh Singgalang, para relawan masih terkendala mencapai puncak untuk evakuasi, sebab gunung merapi masih mengeluarkan kapundan.
Marapi lembab. Gunung setinggi 2891 mdpl ini, tak henti menyeburkan abu, yang membubung. Hitam dan tinggi seperti cendawan raksasa. Debu itu, kemudian diurai angin sedikit demi sedikit.
Tak hanya debu tapi juga pasir yang disebutkannya lalu jatuh di ladang- ladang, mata air, sawah dan atap rumah penduduk.
“Sakali ko wak mancaliak gunuang malatuih mode ko bana,” kata seorang ramaja di Batu Palano. Hal serupa pernah terjadi 1975, empat tahun sebelum galodo besar.
Jalan mendaki yang licin, seperti dibungkus gulma. Gunung ini sebenarnya dibalut rimba raya, tempat banyak kisah mistis bermula.
Saat saya sedang di posko, tampak ratusan relawan dan ambulance bersiaga. Sebanyak 11 orang meninggal dunia, bukanlah angka yang kecil.
Mereka menemui ajal di gunung yang warga tak boleh mendekat tapi oleh BKSA malah dibuat booking online mendaki. Letusannya, tak terdeteksi. Belum ada penjelasan, ini karena alat rusak atau memang tak terdeteksi saja.
Sementara pendaki lain ada yang sudah dievakuasi dan banyak yang belum. Dikabarkan telepon genggam mereka kehabisan baterai.
Inilah yang membuat panik keluarga pendaki. Anak-anak remaja itu, ingin menemukan panorama alam nan indah tak dinyana gunung malah meletus.
Di luar sana, entah dimana, dari tangan ke tangan foto dan video musibah ini, beredar lebih cepat dari angin.