Di Nabawi ataupun di Masjidil Haram, jamaah Asia Selatan amat mencolok. Semua prianya berjanggut panjang. Betah tiduran di masjid seharian bahkan berselimut karpet. Selain itu mereka juga kuat tiduran di pelataran masjid, berpanas-panas, sesuatu yang oleh jamaah Asia Tenggara tak mampu dilakukan. Di kedua masjid suci ini mereka banyak yang tak pernah masuk masjid lebih suka shalat di pelataran, baik pria maupun wanita. Di Haram jumlahnya berkurang karana ada Ka’bah di dalam masjid.
Dapat dipastikan mereka tak pernah absen shalat 5 waktu. Dapat dipastikan pula semua tas yang menumpuk di tiang-tiang masjid adalah kepunyaan mereka. Makin hari jumlahnya kian banyak saja.
Indonesia-Malaysia
“Mau berfotokah?” Saya bertanya. Sang suami mengangguk dan istrinya memberikan HP kepada saya. Tiga kali petik dan hasilnya bagus.
“Terimah kasih Ncik,” katanya pada saya tatkala rombongan KBIH Nur Zikrillah basirobok dengan rombongan Malaysia di Museum Ka’bah beberapa hari lalu.
Jamaah Malaysia tidak termasuk 10 besar dunia, namun gampang menandainya. Mereka pasti membawa tas bertali ke belakang, atau ke samping, warna kuning. Di sana tertulis Mybank. Bank Malaysia. Sedang Indonesia juga gampang, tas paspor yang warna biru bertuliskan Garuda, gratis dari maskapai itu. Meski demikian, jemaah dua negara ini “lenyap” dalam lautan manusia karena mereka tak tinggi, rendah pun tidak. Mereka tak mau tidur-tiduran. Orang lain mudah mengenalinya namun saya tidak karena sebangsa jadi mata saya terfokus pada bangsa lain.
Sedang bangsa-bangsa anak benua India tinggi besar apalagi jamaah Pakistan. Mereka baik-baik tak pernah melendo urang sadang tagak, entah kalau jamaah kian ramai sebentar lagi. Yang Asia Selatan suka, meski saf sudah penuh, dia masuk juga. Kalau diingatkan dicarinya lokasi lain.
Asia Selatan didiami penduduk beberapa negara yang berkisar 1,6 miliar jiwa. India merupakan negara yang padat penduduk. Bangsa ini jika ke Makkah disubsidi oleh pemerintahnya. Kita? Iya. (*)