Ragam  

Sedingin Es, Setebal Goni

Ubi bakar oleh penjualnya ditulis, "manis enak sekali ubi bakar batu." Pedagang berjualan di sekitar Taman Obaida, Tokyo, Selasa (15/1). Seruni

 

Khairul Jasmi

TOKYO-Selasa (15/1) sedingin es. Pagi sekira pukul 07.00 saya keluar hotel, disergap suhu 1 derajat. Jaket setebal
baju goni zaman Jepang, tak sempurna menahan dinginnya kota. Warga kota duduk dalam diam di warung kopi. Saya ada di sana. Juga diam.

Sebentar lagi anak saya mau ke Tower Tokyo guna memotret, saya ikut. Inilah tower meniru Menara Eiffel yang dibangun 1887 dengan tinggi 324 meter. Yang di Tokyo ini, dibangun 1957 dan tingginya 332,6 meter. Berhalaman sempit, terletak di Shiba. Di kakinya, ada plaza menjual cindera mata.

Sepagi itu masih sepi, beberapa orang dari Banjarmasin terlihat menyeret koper. Sepertinya mereka sedang menuju hotel.
Sebenarnya di sini biasa saja, karena itu kami bergerak ke Patung Liberty Amerika, yang ditiru Jepang.

Terletak di sekitar taman Odaiba. Taman itu menyuguhkan panorama yang bagus. Di belakang patung terbentang Rainbow Bridge dan Teluk Tokyo. Tak ke Amerika tak apa. Di sini ada. Tak ke Paris tak apa, di sini juga ada. Menara Eiffel juga ada duplikatnya di Las Vegas.

Yang menarik bagi saya, mobil pickup, pakai tungku kayu bakar. Pemiliknya seorang pria. Ia menjual ubi bakar. Katelo panggang. Banyak yang belanja, saya tidak. Soal ubi mengubi, saya sudah kenyang. Bukan itu tapi promosinya. Ia menuliskan, dagangannya hebat dan manis dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Bersih pula dan tak ada tong sampah.

Penat dari sana, saya dan Seruni, anak saya, bergerak ke sebuah mall. Lupa saya namanya dan tak perlu pula. Yang perlu sebuah bus masa lampau parkir di halamannya. Antik, sama antiknya dengan lokomotif zaman lampau di stasiun Shibuya, lokasi patung perak anjing paling setia pada tuannya di dunia.

Untuk mobil-mobil antik itu, sudah berdaun muncung saya meminta agar Dinas Pariwisata membeli satu bemo usang, dipermak, kemudian dipajang di Padang. Entah dimana, terserah.

Sampai sekarang belum juga. Yang sudah, tanpa diminta, PT KAI memajang loko tua di depan stasiun Simpang Haru, Padang.
Saya dan orang-orang di Tokyo, ibukota barang-barang elektronik ini, bergegas, berbaju tebal, membisu. Sepertinya mereka sudah diformat karena jadwalnya yang sedemikian teratur. Tetiba janjian, takkan bisa.

Nah ini yang bikin sansai, saya melewati deretan toko di jalan lebar, trotoar lapang. Maka mampirlah saya, bukan ke toko mahal-mahal itu melainkan ke warung kopi, kafe. Jika hari pertama satu lantai di bawah tanah, kini dua lantai di atas tanah. Enak yang pertama, kurang enak yang sekarang. Walau begitu tetap nikmat karena suhu yang dingin.

Berjam-jam untuk city tour, dimintanya dua hal. Pertama tenaga, kedua uang. Dua-duanya tak cukup, maka mampir saja kami ke rumah makan. Kali ini masakan India yang karinya tidak semenyengat di Padang. Makan roti selebar pinggan dan kari ayam serta nasi kebuli, segelas es kosong.